JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat, penyerapan komoditas garam lewat sistem resi gudang (SRG) sejak 2008 hingga 18 Mei 2021 masih rendah.
Kepala Bappebti, Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, penyerapan garam dari 10 SRG hanya 701,73 ton atau setara Rp977,49 juta dengan pembiayaan sebesar Rp70 juta.
"Rendahnya penyerapan garam dari penambak disebabkan oleh rendahnya kualitas garam penambak," kata Indra di Jakarta, Rabu (26/5/2021).
Indra mengungkapkan, bahwa rata-rata garam di penambak adalah jenis garam K3 yang tinggi kadar kotoran dan kadar air. Menurutnya, jenis kandungan garam tersebut tidak bisa diserap SRG.
"Ini yang sebenarnya menjadi tantangan di garam. Garam ini nilainya masih kecil. Kembali lagi ini masalah mutu," ujarnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, kata Indra, pihkanya ingin memberikan bantuan kepada penambak dalam bentuk washing machine (mesin pencucian) atau refinery sederhana guna meningkatkan kualitas garam agar dapat diserap.
"Memang pasti ada loss (rugi) 20-30 persen kalau K3 untuk bisa disimpan, tapi ini harus dipikirkan," pungkasnya.
Dapat disampaikan, SRG merupakan instrumen perdagangan dan keuangan di Indonesia yang membantu komoditas pertanian memperoleh pembiayaan tanpa diperlukan agunan lainnya.
Instrumen ini dapat menjadi sarana tunda jual saat panen raya ketika harga komoditas berada pada titik terendah dan membuka akses pembiayaan bagi para petani yang umumnya memiliki keterbatasan aset untuk dijadikan agunan.
SRG tidak hanya sekedar penyimpanan, namun juga pemberian nilai tambah karena komoditas yang disimpan dapat diolah sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. (der/fin)