JAKARTA - Indonesia terbukti masih sangat tergantung dengan sektor minyak dan gas bumi (migas). Hal itu bisa dilihat dari setoran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas yang sangat dominan, dibandingkan dengan sektor lainnya.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, dalam diskusi virtual 'Penguatan Sinergi Industr Hulu MIgas Dengan Masyarakat Guna Memperlancar Operasi dan Produksi', Kamis (15/4).
[caption id="attachment_320523" align="alignnone" width="300"]
Ilustrasi pengeboran minyak lepas pantai[/caption]
Mamit menjelaskan, tahun 2020 lalu, PNBP sektor migas mencapai Rp69,7 triiun. Padahal, tahun lalu pandemi covid-19 sudah menghantam negeri ini. Ia cukup yakin jika kondisi perekonomi normal, PNBP bisa didapat lebih besar lagi.
"Jumlah (PBNP) itu jauh lebih besar dibandingkan penerimaan sektor lain, termasuk Minerba (Mineral dan Batu bara) dan EBT (Energi Baru Terbarukan). Jadi Migas masih punya peranan sangat penting dalam penerimaan kita," kata Mamit.
Ia merinci, secara total penerimaan PNBP Kementerian ESDM tahun lalu mencapai Rp108,7 triliun, dimana Rp69,7 triliun diantaranya adalah dari sektor migas, kemudian Rp34,6 triliun sektor minerba, sejumlah Rp2 triliun dari EBT dan Rp2,4 triliun dari sektor lainnya.
"Tahun 2018 sebeum pandemi dan harga minyak dunia tinggi, PNBP sektor migas mencapai angka Rp142 triliun," ungkapnya.
Meski demikian, kata Mamit, karakteristik sektor migas adalah padat modal, risiko tinggi, teknologi tinggi dan juga memerlukan waktu yang sangat panjang untuk pengembangannya.
"Yang jadi masalah sejak 2004 kemarin, Indonesia sudah jadi net importir. Jadi Indonesia ini bukan lagi jadi negara yang kaya minyak. Kenapa, karena konsumsi kita lebih besar daripada produksi migas," tuturnya.
Kedepan, butuh upaya lebih keras lagi agar sektor migas bisa berkesinambungan. Sebab, jumlah cadangan migas Indonesia yang tersedia terus menipis. Bahkan jika mengutip pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif, cadangan migas RI hanya cukup untuk kebutuhan 9 tahun lagi, jika tidak ditemukan cadangan-cadangan baru.
"Pemerintah dan SKK Migas sedang menargetkan program 1 juta barel per hari. Harapannya adalah agar disparitas tidak terlalu jauh. Tetap kita jadi net importir, namun logikanya ketika produksi kita meningkat, maka secara otomatis maka defisitnya akan berkurang. Sehingga dari sisi neraca migas kita semakin baik," tuturnya.
"Dengan program yang sekarang dilakukan SKK migas, maka pada tahun 2030 kita akan dapat 1 juta BOPD. Ini bagus, peran serta masyarakat perlu di tingkatkan," pungkasnya. (git/fin)