Anggota Komisi II DPR RI Surahman Hidayat mengatakan, sebagaimana putusan MK, pemilu serentak memiliki makna pemilihan presiden, DPR RI dan DPD RI dilakukan dalam waktu yang sama. Artinya pemilu serentak tidak mengikat pelaksanaan pilkada.
“Pelaksanaan pilkada lebih baik dikembalikan pada skema yang sudah berjalan sampai dengan saat ini,” ujar Surahman.
BACA JUGA: Gempa Susulan Meluruh, Warga Majene dan Mamuju Sudah Boleh Pulang ke Rumah
Menurut Surahman Hidayat, Pilkada yang dilaksanakan dalam waktu yang sama memiliki beberapa kelemahan. Pertama, akan ada daerah-daerah yang memiliki Pejabat Sementara (Pjs) dalam jangka waktu cukup lama 2 tahun.“Akan ada daerah-daerah yang memiliki Pjs cukup lama sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi efektivitas kinerja pemerintahan daerah. Pjs memiliki kewenangan dan dukungan masyarakat yang berbeda dibandingkan kepala daerah definitif,” ujar Surahman.
Kedua, ia melanjutkan, pelaksanaan pilkada serentak memiliki potensi konflik yang lebih tinggi.
BACA JUGA: Infografis: Statistik Covid-19 di Indonesia Minggu, 31 Januari 2021
“Situasi masyarakat yang masih bingung menghadapi pandemi covid 19 yang belum terlihat ujungnya. Pilkada serentak akan membuat situasi menjadi sensitif, sedikit pemicu dapat menimbulkan konflik horizontal,” lanjut Surahman.Ketiga, imbuhnya, biaya pilkada serentak dalam satu waktu akan membuat biaya pelaksanaan pilkada semakin mahal dan potensi angka golput semakin tinggi.
“Biaya pelaksanaan pilkada serentak itu lebih mahal dan angka golput semakin tinggi,” ujarnya.
Dengan sejumlah pertimbangan tersebut, Surahman berpendapat bahwa lebih baik pelaksanaan pilkada 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan.
BACA JUGA: Sriwijaya Air Gratiskan Tes Antigen di Sejumlah Penerbangan
“Pelaksanaan pilkada tidak perlu dipaksakan dilaksanakan serentak dalam satu waktu baik tahun 2024 sebagaimana UU Pemilu maupun 2027 sebagaimana draft revisi UU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di baleg DPR RI,” bebernya.Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera, mengajak masyarakat untuk terlibat diskursus tentang revisi UU Pemilu, termasuk perdebatan mengenai perlu atau tidaknya UU ini direvisi dalam waktu dekat.
Mardani menyebut bahwa pada pembahasan di Komisi II semua setuju bahwa UU Pemilu perlu direvisi, namun beberapa partai justru kini menolak setelah masuk Baleg.
BACA JUGA: Cinta Laura Pose dengan Perut Transparan, Rekan Artis Beri Ganjaran
“Pembahasan RUU Pemilu dari Komisi II sudah selesai. Sekarang ada di Baleg. Namun anehnya, ada mulai beberapa partai menolak revisi, padahal ketika di Komisi II mereka perlu revisi,” ucapnya.Mardani menekankan revisi UU Pemilu diperlukan berlandas pada evaluasi Pemilu 2019, ketika 894 petugas KPPS meninggal, serta proyeksi munculnya ratusan Plt (pelaksana tugas) akibat nihilnya Pilkada serentak tahun 2022 dan 2023.
Baginya hal ini dapat menjadi pertimbangan serius untuk merevisi UU Pemilu. Kemunculan Plt ditakutkan akan memunculkan oligarki yang terstruktur. Publik harus terlibat dalam diskursus RUU Pemilu ini.
“Kalau tidak ingin ada revisi apa landasannya. Perlu landasan kuat. Kalau dibilang landasan untuk tidak revisi adalah biar tidak perlu 5 tahun sekali, saya pikir ini sesuatu yang sangat naif,” bebernya.
BACA JUGA: Eks Petinggi GP Ansor: Abu Janda itu Penyusup, Dia Manfaatkan Nama Besar NU untuk Kepentingan Pribadinya
Politisi PKS ini juga mengkhawatirkan polarisasi hebat pada Pemilihan Presiden 2019 lalu tetap akan berlanjut bila UU Pemilu tidak direvisi. Hal ini terjadi karena ambang batas pencalonan presiden yang cukup tinggi, yakni 20 persen.Mardani menawarkan revisi pada poin tersebut dengan menurunkan ambang batas pencalonan presiden menjadi 10 persen kursi atau 15 persen suara. Baginya menurunkan ambang batas adalah salah satu upaya menyehatkan demokrasi.
“Bongkar barrier to entry, maksimal 10 persen kursi atau 15 persen suara. Menurunkan threshold, presiden dan pilkada, merupakan bagian dari menyehatkan demokrasi,” uraiya.