Hestu menjelaskan, pungutan PPN untuk pulsa dan kartu perdana hanya dikenakan sampai distributor tingkat II (server), sehingga untuk rantai distribusi selanjutnya seperti dari pengecer ke konsumen langsung tidak perlu dipungut PPN lagi.
"Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak sehingga tidak perlu membuat lagi Faktur Pajak secara elektronik (eFaktur)," ujarnya.
Untuk voucer, kata Hestu, pungutan PPN hanya dikenakan atas jasa pemasaran voucer berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual voucer, bukan atas nilai voucer itu sendiri.
"Hal ini dikarenakan voucer diperlakukan sebagai alat pembayaran atau setara dengan uang yang memang tidak terutang PPN," imbuhnya.
Sedangkan pungutan PPN untuk token listrik, lanjut Hestu, hanya dikenakan atas jasa penjualan atau pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual token dan bukan atas nilai token listriknya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebelumnya menilai, bahwa penerbitan PMK 06/PMK.03/2021 tidak tepat waktu. Mengingat, saat ini kondisi masyarakat saat ini sedang mengalami kesulitan di tengah pandemi Covid-19.
"Token listrik itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Jadi, pungutan PPh pulsa, kartu perdana dan token akan memberatkan masyarakat," kata Koordinator Pengaduan YLKI Sularsih.
Menurut Sularsih, tanpa adanya PMK 06/PMK.03/2021 pun pengeluaran listrik rumah tangga saat ini sudah naik signifikan, karena ada kebijakan work from home (WFH).
"Pandemi ini membuat pola orang bekerja bergeser, yang tadinya di kantor sekarang dari rumah. Otomatis penggunaan token lisrik meningkat," ujarnya.
Setali tiga uang, pulsa pun demikian. Pulsa yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama pelajar yang harus menjalani sekolah secara daring.
"Pengeluaran pulsa di suatu keluarga dipastikan membengkak saat masa pandemi, apalagi jika anggota keluarga tersebut berjumlah banyak," imbuhnya.
Unutk itu, Sularsih menyarankan, pemerintah harus melakukan pertimbangan yang matang sebelum benar-benar memberlakukan PMK tersebut. Sebab, jika tetap diterapkan per 1 Februari mendatang, hal itu tentu akan sangat memberatkan masyarakat.
"Kondisi daya beli yang belum pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Sekalipun negara dalam kondisi kurang dana dan pemasukan pajak minim, kalau ini dilaksanakan rasanya kurang tepat," pungkasnya. (der/fin)