News . 15/01/2021, 09:00 WIB
JAKARTA – Pembahasan Undang-Undang Pemilu yang saat ini masuk tahap harmonisasi terus menjadi sorotan. Melihat pengalaman pemilu ke belakang, pembuat regulasi perlu bercermin. Presidential Threshold menjadi salah satunya. Rumusan angka perlu pertimbangan yang matang dan keputusan yang bijak.
Anggota Komisi II DPR RI Surahman Hidayat mengatakan, terkait besaran angka agar tidak menghambat anak bangsa untuk menjadi kandidat calon presiden. Serta menghindari terjadinya perpecahan dimasyarakat.
“Pilpres 2019 menjadi pengalaman pahit demokrasi Indonesia. Bagaimana pilpres menjadi ajang perselisihan, benturan secara fisik, yang masih membekas sampai sekarang. Saya melihat masih ada sebagian masyarakat yang membawa ingatan pilpres sampai saat ini,” katanya, Kamis (14/1).
Situasi ini, akan memungkinkan terjadi putaran kedua. Karena kemungkinan tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari tersebar merata diberbagai provinsi.
“Tapi situasi ini lebih baik, dibandingkan terjadinya kembali perselisihan politik yang tajam di tengah-tengah masyarakat,” terangnya.
Koalisi dua partai parlemen juga sudah bisa memenuhi ketentuan 10 persen suara atau 15 persen kursi.
“Ditengah pandemi covid 19 yang masih membayangi bangsa Indonesia, partai-partai dituntut lebih memikirkan kepentingan bangsa dibandingkan kepentingan politik partainya,” ujarnya.
UU Pemilu seyogyanya dievaluasi setelah berjalan tiga atau lima kali pemilu. Hal itu penting agar tidak ada kesan merubah regulasi pemilu demi kepentingan politik.
"Kami selalu me-review undang-undang itu. Bagaimana kedepannya kita membuat tradisi, hasil terhadap revisi undang-undang itu, bisa digunakan tiga hingga lima kali pemilu. Itu merupakan komitmen kami di Komisi II," kata Guspardi.
Sementara itu, gugatan yang dilayangkan ekonom senior Rizal Ramli ke Mahkamah Konstitusi ditolak. Ia meminta agar aturan ambang batas presiden dihapus karena menghilangkan hak konstitusional sejumlah partai politik yang ingin mengusung calon presiden.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pengucapan putusan mengatakan, Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
MK menyatakan sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
"Maka yang memiliki hak kerugian konstitusional menurut permohonan yang diajukan oleh para pemohon adalah partai politik atau gabungan partai politik," beber Arief, Kamis (14/1).
MK selanjutnya juga menyatakan, Rizal Ramli tidak dapat menunjukkan bukti pernah diusung oleh partai atau gabungan partai seperti yang didalilkan dalam persidangan.
Arief mengatakan, Rizal Ramli mendalilkan beberapa kali mendapat dukungan publik dari beberapa partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden dan diminta untuk membayar sejumlah uang.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com