News . 05/11/2020, 08:33 WIB
JAKARTA - Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja bisa dibatalkan seluruhnya dalam uji materi atau judicial review di Mahkamah Konstitusi. Pembatalan tersebut jika prosedur pembentukan UU bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan.
Hal tersebut diutarakan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya pemerintah dan DPR harus dapat menjawab persoalan prosedur pembentukan undang-undang dengan hati-hati dan argumentatif. Jika pembuatan UU bertentangan dengan Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka UU bisa dibatalkan seluruhnya tanpa membahas substansi.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," jelasnya dalam keterangannya, Rabu (4/10).
Dia menilai, jika menggunakan landasan pikiran kaku maka prosedur perubahan melalui Omnibus Law tidak sejalan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan omnibus law adalah tidak sejalan dengan UU No 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya," urainya.
Selain uji formil, tentu ada uji materil yang terkait pengujian substansi norma yang diatur dalam undang-undang terhadap norma konstitusi di UUD 1945. Dia pun mengatakan agar pemohon fokus terhadap pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Terkait salah ketik di UU Cipta Kerja, Yusril mengatakan tidak berpengaruh terhadap norma-norma yang diatur di dalamnya. Sebab, pemerintah dan pimpinan DPR bisa mengadakan rapat memperbaiki salah ketik itu.
"Saya berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam undang-undang itu, maka Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," katanya.
Setelah diperbaiki, naskah diumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai rujukan resmi. Sehingga Presiden Jokowi tak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya.
Meski demikian, Yusril mengaku kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam Lembaran Negara.
Sependapat dengan Yusril, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, kesalahan tersebut hanya perlu diperbaiki. DPR dan pemerintah perlu koordinasi.
"Kalau hanya perbaikan redaksional, saya sependapat dengan Prof Yusril. Bahwa itu sebenarnya tidak apa-apa langsung koordinasi saja antara pemerintah dan DPR untuk memperbaiki pasal rujukan," ujarnya.
"Itu murni hanya karena kesalahan pengetikan, karena dulunya ada redundan. Itu murni kesalahan tim dapur," tegasnya.
Dikatakannya, DPR dan pemerintah harus berkoordinasi untuk memperbaiki kesalahan ketik. Perbaikan demikian merupakan konsensi dua belah pihak. Setelah undang-undang dikirim, Sekretariat Negara perlu mengecek kembali. Namun, kesalahan redaksional tersebut berada di pihak pertama alias DPR. Legislatif siap memperbaiki naskah UU Cipta Kerja.
Setelah dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja itu tinggal diundangkan kembali tanpa perlu ditandatangani presiden kembali.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com