"Ini yang akan kita selidiki semuanya. Jangan jadi korban anak-anak kita yang masih kecil ini, anak-anak SMP, SMA yang diajak untuk melakukan demo, bahkan mereka berani melakukan kerusuhan," katanya.
Dijelaskan Yusri, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui para pelajar tersebut mendapat undangan melalui media sosial. Bahkan ada beberapa pelajar yang ikut demo pada 8 Oktober 2020 kembali diamankan pada ricuh 13 Oktober 2020.
"Hampir seluruhnya mereka mereka setiap ditanya pasti bilang undangan melalui media sosial dan diajak. Bukti-bukti yang kita temukan dari HP pun ada. Bahkan di grup mereka pun ada. Mereka ada yang tanggal 8 (Oktober 2020) sudah ikut, sekarang berangkat lagi," tambahnya.
BACA JUGA: AHY: Draft Omnibus Law Tidak Jelas, Pemerintah dan Masyarakat saling Tuding
Disebutkannya ada beberapa pelajar yang harus diproses secara hukum karena membawa senjata tajam."Kami sudah razia pun kami temukan di dalam tasnya ada yg membawa ketapel, ada yang membawa batu, macam-macam, bahkan yang diamankan oleh Polres Jakarta Pusat ada yang membawa golok," tuturnya.
Dikatakannya, sebanyak 1.377 pemuda dan pelajar diamankan terkait unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja pada Selasa (13/10).
"Ada 1,377 yang kita amankan, baik itu sebelum unjuk rasa dan pasca unjuk rasa," katanya.
Saat didata, diketahui sekitar 80 persen dari 1.377 orang tersebut masih berstatus pelajar. Bahkan lima orang diantaranya pelajar SD.(lihat grafis)
"Dari 1,377 ini, dievaluasi 75-80 persen adalah anak-anak sekolah. Kurang lebih 900, 800 sekian, bahkan ada lima orang anak SD yang umurnya sekitar 10 tahun," kata.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyesalkan banyaknya anak-anak yang dilibatkan dalam aksi demo tersebut.
"Yang memprihatinkan, anak-anak berstatus pelajar tersebut disinyalir didatangkan dari berbagai daerah untuk saling lempar dengan aparat keamanan dalam aksi demonstrasi untuk menciptakan situasi memanas dan gaduh," ujarnya.
Semakin miris, anak-anak yang diamankan polisi dikerahkan melalui pesan berantai menggunakan media sosial. Mereka juga tidak tahu apa yang diperjuangkan.
"Kami hanya diperintahkan berkumpul di satu tempat lalu disediakan kendaraan dan ada juga yang harus berjuang menumpang truk secara berantai," ujarnya.
Pihaknya menentang bila anak-anak sengaja dilibatkan atau dieksploitasi secara politik untuk kepentingan dan tujuan kelompok tertentu.
"Sudah tidak terbantahkan lagi bahwa anak-anak sengaja dihadirkan dalam aksi demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja untuk tujuan dan kepentingan kelompok tertentu," katanya.
Arist pun meminta semua pihak agar tidak melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan politik, demonstrasi untuk kepentingan kelompok tertentu.