News . 12/08/2020, 07:10 WIB

Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

Penulis : Admin
Editor : Admin

”Mereka datang hanya semalam, biasanya mengambil duit dari para penggarap lahan.Tapi saya nggak paham berapa bagian bagi hasilnya. Kadang ada, kadang tidak ada,” ujar pria yang juga menjadi Ketua RT tersebut.

Ibrahim pun bungkam saat disinggung siapa nama penggarap lahan tersebut, namun dari penuturannya setiap tahun ada saja hasil lahan yang dikirim. ”Saya memang masih berhubungan sama keluarga mereka, itu kalau ada yang menanyakan (harga) rumah mau dijual atau tidak, kalau nggak ada perlu apa-apa, saya juga ogah meneleponnya,” tuturnya secara terbersit tak mau lagi berurusan dengan warga Ahmadi.

Apakah mungkin Nayati dan keluarganya kembali hidup berdampingan bersama warga lainnya di Kampung Peundeuy, tanah kelahiran mereka?. Ibrahim mengatakan, para tetua kampung dan ulama sejatinya sudah memberikan tempat bagi mereka asal dengan syarat, taubat.

"”Nayati dan Pak Matori sekeluarga silahkan datang, kami tidak keberatan asalkan bertaubat. Taubatnya yang beneran mengikuti ajaran yang benar. Bukan tobat sambel (palsu),” katanya.

”Mungkin bisa saja penganut Ahmadiyah kembali ke sini, tapi para ulama yang ada di Kecamatan Cikeusik tidak menerima begitu saja," tambahnya.

Dengan syarat pertama itu, tampaknya sulit menemukan titik demarkasi atas kejadian sembilan tahun silam Pasalnya, jemaah Ahmadiyah yakin mereka menganut ajaran Islam sebagaimana diajarkan dalam kitab suci Alquran.

[caption id="attachment_476346" align="alignnone" width="696"] HIJAU: Perkebunan dan pepohonan yang masih rimbun menjadi pemandangan yang biasa ditemui menuju Banten Selatan. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]

BERIKAN HAK YANG SAMA BAGI AHMADIYAH CIKEUSIK

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyayangkan soal kepemilikan lahan milik kaum minoritas Ahmadiyah yang terusir. Padahal, secara penuh lahan tersebut merupakan milik perseorangan, yang setiap tahunnya masih dibayarkan pajak ke negara.

Pemerintah baik kabupaten/kota, provinsi maupun pusat seharusnya ikut bertanggung jawab kepada korban sembilan tahun silam. Soal rehabilitasi misalnya. Jangan hanya merelokasi mereka yang sebagai korban. Tetapi harus diperhatikan betul soal hak-hak sebagai warga negara.

“Hak-hak setiap warga negara harus tetap dipenuhi. Aset apalagi. Menurut saya seharusnya masalah ini sudah selesai. Bukan menjadi masalah yang berkepanjangan. Kepemilikan lahan seharusnya bisa dikembalikan sepenuhnya,” ujar Isnur.

Jika tidak segera diselesaikan, masalah ini justru seperti perampasan lahan. Di mana, lahan atau tanah yang pajaknya masih dibayarkan setiap tahunnya, justru pemilik tanah tidak mendapat keuntungan yang jelas atas kepemilikannya.

Selain rehabilitasi, rekonsiliasi juga seharusnya sudah bisa dicapai. Peristiwa tersebut dinilai sudah cukup lama terjadi. Pemerintah harus memberikan pengertian kepada masyarakat dimana korban sebelumnya tinggal. “ini jadi tugas pemerintah. Bagaimana mengedukasi masyarakat. Agar korban bisa kembali ke rumah atau bergabung bersama masyarakat di mana sebelumnya mereka tinggal,” ucapnya.

Hukum di Indonesia tidak mampu melindungi kelompok minoritas yang menjadi korban persekusi dan intoleransi.“Kita mempunyai Undang-undang Dasar yang menjamin kebebasan beragama, tetapi belum ada Undang-undang turunannya yang menjamin kebebasan beragama berlangsung. Ini masalah yang terus berlangsung. Hukum juga bukan melindungi korban tetapi dijadikan alat melanggar hak asasi manusia,” katanya.

Ia melanjutkan, jika berkaca dari lamanya peristiwa tersebut, aspek kebencian seharusnya juga sudah hilang. “Karena sudah lama sekali peritiwanya. Dan pemerintah lagi-lagi atau Komnas HAM dan Ombudsman harus ikut membantu mengembalikkan hak-hak para korban,” tandasnya.

Hal senada diungkapkan Direktur SETARA Institute Ismail Hasani. Ia menuturkan tanah-tanah pasca konflik selalu dimanfaatkan orang atau oknum tidak bertanggung jawab. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan bagaimana kedudukan penyelesaian status kepemilikan tanah yang ditinggalkan oleh pengungsi.

”Bukan saja lahan milik Ahmadiyah saja, lahan-lahan yang dikelola warga Gafatar di Kalimantan Barat yang jumlahnya puluhan hektar dikelola oknum-oknum aparat. Itu nggak akan balik (dimiliki ) lagi,” katanya.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com