News . 12/08/2020, 07:10 WIB
[caption id="attachment_476340" align="alignnone" width="696"]
WISATA BAHARI: Ribuan kapal nelayan memadati Dermaga Muara Binuangeun, Kecamatan Wanasalam, Lebak, Banten. Kawasan wisata yang hanya berjarak 1 Km dari Cikeusik. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]
Sesampainya di Kampung Pandeuy, terlihat kebersihan lingkungan kampung yang masih terjaga. Kamis 30 Juli 2020,tepat dua pekan warga melakukan panen raya. Semua hasil padi dijemur di halaman rumah.Jika tak muat Jalan Raya Nasional yang membelah kampung itu menjadi tempat berjemur sementara.
Hampir setengah badan jalan tertutup oleh terpal jemuran. Meski berada 60 Kilometer dari Ibukota Kabupaten Pandeglang, kemajuan teknologi sudah menerpa kampung tersebut. Sinyal provider dengan layanan data tercepat pun sudah hinggap di ponsel pintar kita sesaat sampai di desa. Keramik dan antena parabola lumrah digunakan. Hanya beberapa rumah yang masih berlantai semen dan antenna TV biasa.
Bangunan rumah pun banyak yang telah permanen, pun yang berlantai dua. Sepeda motor dan mobil keluaran terbaru juga bukan hal baru bagi warga desa. Televisi berlayar datar pun jamak menghiasi ruang tamu. Kendati demikian, prahara pembantaian tiga warga Ahmadi seakan menjadi duri dalam daging warga di sini. Kemajuan teknologi nyatanya tak membuat semuanya tenang.
Hanya berjarak 500 meter dari Kantor Kepala Desa Umbulan, saksi bisu kerusuhan itu masih berdiri. Tiga rumah milik Keluarga Nayati yang dahulunya mapan kini seperti rumah tak bertuan. Tak ada atap, kusen pintu pun menghilang. Bekas jelaga hitam masih menyelimuti sebagian rumah.
Di tembok rumah, tanaman merambat tumbuh subur. Menjalar ke atas seperti berbentuk atap sementara. Rumah Matori terbilang yang paling besar dari tiga rumah tersebut. Halamannya yang dahulu ditanami banyak pohon, kini berubah menjadi kebun pisang.
Dari tiga rumah yang didatangi hanya rumah Maryamah yang masih tampak lengkap. Rumah dengan latar hijau kuning masih terkunci rapat. Kendati demikian, sebagian besar catnya sudah mengelupas dan kayu bangunan mulai lapuk. Sementara rumah anak pertama Matori, Ismail Suparman sudah tinggal temboknya saja.Padahal lahannya terbilang luas hampir 600 meter. Tepat di tengah halaman rumah itu, pembantaian tiga warga Ahmadi terjadi. Sebuah rumah permanen sudah dibangun di belakang rumah Suparman.
[caption id="attachment_476344" align="alignnone" width="696"]
MASIH LENGKAP: Di antara rumah Ahmadi Cikeusik, hanya milik Maryamah, kakak kandung Nayati yang masih lengkap. Namun, keluarga tersebut masih enggan menjenguk harta dan asetnya karena faktor keselamatan. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]
”Banyak yang mau beli rumah itu, tapi mereka (Nayati dan keluarga) nggak mau menjualnya. Mereka juga masih takut ke sini,” ujar Cadram (82), tetangga Matori sembari menunjuk rumah Suparman dan Maryamah.
Cadram bukanlah warga Pandeuy, ia tinggal di desa sebelah, Ranca Seneng . Namun, pria bertubuh besar ini mengaku kenal dekat dengan keluarga Matori sejak mereka pindah dari Cirebon, medio 70-an. Saat ditemui, pria yang sejak tahun 1976 telah menjadi penduduk di sana, tengah menjemur hasil panennya. Ada 10 karung lebih padi yang ia jemur tepat di belakang Rumah Maryamah.
Pria asal Kecamatan Ajantan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tak banyak bicara mengenal ihwal dari asset Matori dan keluarga yang telah ditinggalkan. Namun ia mengakui bahwa keluarga tersebut terbilang ulet bekerja sehingga mampu membeli lahan 5 hektar luasnya. ”Pak Matori itu pekerja keras, sawahnya besar, lebih dari 50 puluh petak. Saya dan dia sama-sama dari Pantura jadi wajar kerjanya mangkul pacul,” jelasnya.
Namun setelah penyerangan itu, sambung Cadram, banyak harta mereka yang ditinggalkan. Saat itu warga Pandeuy bingung mau diapakan barang-barang milik Keluarga Nayati.Mereka pun serba salah. Satu sisi, niat mereka mengamankan barang tersebut akan dicap sebagai penolong oleh para kelompok penyerang.
[caption id="attachment_476342" align="alignnone" width="696"]
SAKSI BISU: Sisa-sisa bangunan rumah milik mubaligh Ahmadiyah Ismail Suparman di Kampung Pandeuy, Cikeusik, Pandeglang. Selain perabotannya hilang, para penjarah juga menggondol habis kusen dan hewan ternak miliknya. Bangunan ini menjadi saksi bisu tewasnya tiga warga Ahmadi, sembilan tahun silam. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]
Warga pun terpaksa membiarkan perabotan yang ada dibiarkan begitu saja. Hingga kemudian setelah garis kuning Polisi dilepas, barang-barang milik Matori dan keluarga raib. ”Bukan warga sini yang mengambil, sumpah !. Kami mah nggak tahu,” ujar Cadram.
Jika barang saja bisa hilang, bagaimana dengan nyawa. Hingga kini warga Pandeuy belum mau memberikan jaminan keselamatan Nayati jika ingin menengok asetnya . Tokoh pemuda Pandeuy yang juga tetangga Nayati, Ibrahim mengaku sempat kewalahan saat Nayati atau salah satu saudaranya datang ke kampung menanyakan perihal harta mereka.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com