News . 12/08/2020, 07:10 WIB

Jika Membayangkan Cikeusik, Hati Saya Perih

Penulis : Admin
Editor : Admin

Lahan tersebut merupakan hasil jerih payah mereka dan pemberian Matori (82) ayah Nayati. Pria ringkih itu juga ikut tinggal bersama mereka di Cipondoh. Ada pula Mulyadi (adik bungsu Nayati) dan dua saudara perempuannya, Maryamah (kakak perempuan) dan Nurhayati (adik perempuan) juga tinggal disana. Sementara Sutarno, kakak lelaki kedua mereka yang ikut dikejar oleh para penyerang juga hidup aman di Kemang, Bogor. ”Tarno hidupnya bertani di sana, sudah aman,” ujarnya.

Baik Nayati, dua saudaranya juga sama ikut berdagang. Mulyadi, Nurhayati dan  Maryamah berjualan mainan dan kelontong, lokasi usahanya hanya  berjarak 50 meter dari kediaman Nayati. Kehidupan bertani yang sudah mereka kecap dari belia harus ditinggalkan begitu saja.  Tentu bagi orang kebanyakan, keuntungan Rp50 ribu sehari dari hasil jual sayur mayur sangat minim untuk ukuran Kota Tangerang yang ber-UMR Rp3,7 juta tersebut.

Namun, bagi Nayati, uang tersebut sudah dianggap cukup baginya. Betapapun, Nayati juga mengidam-idamkan dapat hidup kembali dengan tenang dan aman di desanya. Namun, jika mengingat hal tersebut, Nayati lagi-lagi mengelus dada. ”Ada ancaman pembunuhan bagi keluarga saya kalau ke sana,” terang Nayati.

Keluarga Matori bukanlah keluarga miskin. Datang dari Kabupaten Cirebon Jawa Barat , pria sepuh ini dikenal petani yang ulet. Hasil padi yang berlimpah dan tabungan berdagang yang disimpan istrinya membuat Matori menjadi pemilik lahan persawahan yang luas di Kampung Pandeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikuesik, Pandeglang, Banten tersebut. ”Luas lahan saya hampir 5 hektar,” ujar Matori.

Kepada Nayati, Matori memberinya lahan seluas 8.000 meter persegi. Semua berupa ladang dan sawah. Nayati juga diberikan lahan 600 meter persegi untuk membangun rumahnya.  Sementara, dua pertiga hektar lahan milik Matori digarap ke kakak dan adik Nayati.

Namun pasca kejadian, rumahnya kosong. Semua benda baik di dalam rumah dan ternak hilang begitu saja. Semua dijarah orang tak dikenal. Perabot rumah tangga hilang, kusen-kusen dipreteli. ”Termasuk kusen sampai pintu rumah saya ikut dijarah. Kayaknya bagi mereka (penjarah) harta (warga) Ahmadiyah halal dijarah,” lirih Matori.

Matori merinci kerugiannya mencapai sekitar Rp1 miliar. Tidak hanya kusen yang dijarah, melainkan sejumlah alat pertanian. Ada dua pompa air diesel seharga Rp40 juta yang hilang direbut penjarah. Itu belum termasuk hewan ternaknya ikut digondol pencuri berkedok agama tersebut.

NASI PECEL SEPAHIT PAJAK YANG DITANGGUNG

Penjarahan itu sebenarnya telah didengar dua bulan pasca kerusuhan. Saat ingin ke Cikeusik, sejumlah kerabatnya melarang karena faktor keselamatan. Keinginan melindungi aset keluarga jadi pendorong kuat bagi Nayati untuk segera pulang. Ia juga mendengar ladang dan sawahnya dikatakan diolah oleh beberapa oknum tanpa imbalan yang memadai.

Setahun pasca penyerangan, barulah  ia memberanikan pulang. Hingga kini, setiap lebaran menjenguk kerabat dan handai tolannya di sana. Namun terkadang bukan peluk cium yang diharapkannya, perjalanan 132 Km dari Tangerang ke Cikeusik harus dibayar dengan  caci maki.

Perlakuan tak enak ia dapat pada lebaran tahun lalu. Saat tengah sarapan di warung pecel tak jauh dari rumahnya. Saat itu sang pemilik yang merupakan tetangga Nayati merasa jijik atas kehadirannya. Sang pemilik juga mengatakan, Desa Cikeusik sudah tak sudi menerima para Ahmadi.

Sikap tersebut membuat Nayati terpaksa angkat kaki dari warung tersebut.Ia tahu itu hanya hasutan yang dikirimkan orang yang tak ingin Keluarga Nayati hidup tenang.  ”Nasi pecelnya terasa pahit di tenggorokan saya, saya menangis denger itu,” katanya.

Hidup Nayati memang terberai dari sanak keluarga. Mereka sudah tak bisa pulang. Setiap upaya pulang selalu diganjar penyerangan oleh kelompok anti-Ahmadiyah. Pemerintah abai. Jika pulang, Nayati mengaku harus tidur di rumah kerabatnya, Kampung Kolecer yang berada 1 Km sebelah selatan Kampung Peundey.

Bukan hanya hasil lahan yang raib, Nayati pun wajib membayar pajak bumi dan bangunan yang ditanggungnya. Dari selembar bukti pajak yang diperlihatkannya, Nayati harus  menanggung beban pajak sebesar Rp7.840 pertahun. Jumlah tersebut memang kecil, namun baginya arti lembaran pajak membuktikan bahwa ia masih punya hak penuh atas lahan tersebut.

[caption id="attachment_476339" align="alignnone" width="696"] BUKTI SAH: Nayati menunjukkan lembar bukti pajak atas lahannya seluas hampir 8.000 meter persegi di Blok Harendong, Kampung Kolecer, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. (FOTO: Togar Harahap/FIN)[/caption]

Dari 2011 hingga 2018, tak satu rupiah pun hasil panen dari para penggarap lahannya menetes ke rekening Nayati. Baru di tahun 2019, ia baru mendapatkan jatah tahunannya yakni Rp12 juta. Jumlah itu adalah akumulasi penjualan padi dari lahan milik Nayati dan keluarganya seluas 5 hektar. Hasil yang sangat minim dari ratusan ton padi yang dihasilkan persawahan miliknya.”Nilainya sangat kecil bagi kami tapi apa daya kami terima saja,” ujar Nayati kembali.

Bagi Matori, uang Rp12 juta jauh dari kata layak. Padahal lahannya yang berada di Blok Harendong terbilang subur. Setiap tahun, ia mendapat 25 ton dari satu hektar  sawahnya. Jika dirinci, ia sebenarnya bisa mendapat Rp80 juta-Rp90 juta perhektar untuk sekali panen (harga gabah kering : Rp4.200/Kg). ”Kalau sehektar saja segitu, kalau lima hektar bagaimana, dan saya kudu sabar kang,” ujarnya.

TIGA RUMAH TAK BERTUAN

Perjalanan dari Jakarta menuju Kampung Pandeuy, Desa Umbulan, Cikeusik, Pandeglang memakan waktu lebih dari enam jam. Setelah dua jam melalui hiruk pikuk kemacetan Kawasan Industri Tangerang, kita langsung dihadapkan suasana perkampungan yang asri. Sawah dan lahan karet-sawit milik PT Perhutani menebas perbukitan Kawasan Banten Selatan tersebut. Semua menghijau sejauh mata memandang. Kita juga akan menemui dermaga Muara Binuangeun, tempat bersandarnya kapal nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan Jawa hingga Perbatasan Australia.

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com