Biasanya saya malas membaca ulang naskah yang saya tulis. Alasan saya klasik: sibuk.
Saya terlalu percaya pada jempol penekan keyboard di layar ponsel. Hadi melihat tulisan saya sering salah eja. Gegara kritiknya itu saya menawarinya pekerjaan suka rela membaca ulang naskah saya itu.
Hadi pun mau. Maka Hadi-lah yang memperbaiki kalau ada yang salah-salah atau typo. Seminggu sekali. Selama tiga tahun. Suatu saat Hadi datang ke saya menyodorkan buku. Ia-lah yang menulis buku itu. Masih dalam bentuk draft. Ia minta agar saya mau menulis kata pengantar untuk buku itu.
Saya lihat covernya: foto Ignatius Jonan, (kala itu) direktur utama PT Kereta Api Indonesia.
Saya ingat foto itu. Suatu saat Jonan memperlihatkan foto wajahnya pada saya. Untuk dinilai.
"Apakah seperti ini?" tanya Jonan.
"Kurang," jawab saya.
Sebelum itu saya memang sering bercanda dengan Jonan. Canda serius. "Anda ini sudah menjadi seorang CEO. Harus bisa tersenyum," kata saya. "Kalau masih menjadi CFO boleh tidak pernah tersenyum. Tapi sekarang ini kan Anda CEO," gurau saya.
Rupanya, setelah itu, Jonan mulai belajar tersenyum. Lalu difoto. Foto itulah yang ditunjukkan pada saya. Tapi senyumnya masih belum natural.