5.309 WNI Diisolasi Terpisah

fin.co.id - 20/05/2020, 01:15 WIB

5.309 WNI Diisolasi Terpisah

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

Berdasarkan data yang diterima Gugus Tugas, lima provinsi dengan angka kasus positif terbanyak adalah Provinsi DKI Jakarta dengan total kasus 6.155 disusul Jawa Timur sebanyak 2.377 Jawa Barat 1.700, Jawa Tengah 1.175, Sulawesi Selatan 1.064 dan wilayah lain di Indonesia sehingga total mencapai 18.496 orang.

Kemudian untuk sebaran kasus sembuh dari 34 Provinsi di Tanah Air, DKI Jakarta tertinggi yakni 1.329 kemudian Jawa Barat 411, Jawa Timur sebanyak 375, Sulawesi Selatan 358, Bali 267, dan wilayah lain di Indonesia sehingga total mencapai 4.467 orang.

Selanjutnya Gugus Tugas merincikan data positif Covid-19 lainnya di Indonesia yaitu di Provinsi Aceh 18 kasus, Bali 363 kasus, Banten 698 kasus, Bangka Belitung 29 kasus, Bengkulu 67 kasus, Jogjakarta 207 kasus.

BACA JUGA: Masuk PDP, Balita di Metro Positif Terpapar Covid-19

Selanjutnya di Jambi 84 kasus, Kalimantan Barat 132 kasus, Kalimantan Timur 258 kasus, Kalimantan Tengah 232 kasus, Kalimantan Selatan 484 kasus, dan Kalimantan Utara 160 kasus. Kemudian di Kepulauan Riau 140 kasus, Nusa Tenggara Barat 375 kasus, Sumatera Selatan 597 kasus, Sumatera Barat 420 kasus, Sulawesi Utara 126 kasus, Sumatera Utara 235 kasus, dan Sulawesi Tenggara 202 kasus.

Adapun di Sulawesi Tengah 115 kasus, Lampung 84 kasus, Riau 106 kasus, Maluku Utara 95 kasus, Maluku 107 kasus, Papua Barat 105 kasus, Papua 383 kasus, Sulawesi Barat 77 kasus, Nusa Tenggara Timur 71 kasus, Gorontalo 28 kasus dan dalam proses verifikasi lapangan 21 kasus.

Akumulasi data tersebut diambil dari hasil uji spesimen sebanyak 202.936 yang dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di 66 laboratorium dan Test Cepat Melokuler (TCM) di 14 laboratorium. Sebanyak 147.799 orang yang diperiksa didapatkan data 18.496 positif dan 129.303 negatif.

Kemudian untuk jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang masih dipantau ada sebanyak 45.300 orang dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang masih diawasi ada menjadi 11.891 orang. Data tersebut diambil dari 34 provinsi dan 390 kabupaten/kota di Tanah Air.

Terpisah Anggota DPR RI Komisi XI Junaidi Auly mempertanyakan alasan pemerintah pusat mewacanakan relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disaat kasus postif covid-19 belum benar-benar turun drastis.

BACA JUGA: Kapten SFC Sebut Peta Kekuatan Liga 2 Tak Berubah

Menurutnya wacana relaksasi PSBB oleh pemerintah pusat disinyalir terkait dengan rilis resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukan realisasi angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020, pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tersebut jauh dari prediksi pemerintah.

”Saat itu menkeu masih yakin tumbuh di angka 4,5 persen, nyatanya terkontraksi 2,41 persen secara kuartalan, artinya pertumbuhan anjlok dan hanya tumbuh 2,97 persen saja," kata Junaidi kepada Fajar Indonesia Network.

Legislator PKS ini menjelaskan bahwa seharusnya pemerintah menyadari sejak awal sehingga tidak panik. Karena menurutnya pemerintah selama ini lamban dalam memperbaiki iklim investasi di Indonesia, sehingga ekonomi terus bertopang pada konsumsi rumah tangga. ”Begitu daya beli jatuh, konsumsi terpangkas yang berefek berkurangnya permintaan barang dan jasa, PHK pun meningkat akibat industri terdampak, kata Junaidi.

Paniknya pemerintah dalam penangangan virus corona tercermin dalam bongkar pasang beberapa kebijakan, misalnya terkait larangan mudik, buka tutup bandara, pembatasan usia bekerja, wacana relaksasi PSBB. ”Masyarakat menjadi bingung dengan pernyataan para pejabat yang tidak sinkron satu sama lainnya,” kata Junaidi.

Wacana relaksasi PSBB setelah memburuknya indikator ekonomi makro Indonesia disayangkan oleh Junaidi karena mencerminkan ketidaksabaran pemerintah dalam penanganan pandemi corona. Menurut aleg asal Lampung ini pemerintah harus jernih berpikir. ”Selama pemerintah tidak tegas dan inkonsisten dalam menyelesaikan permasalahan darurat kesehatan ini, maka memperbaiki ekonomi pun akan sulit,” kata Junaidi. (fin/ful)

Admin
Penulis