Empat ABK Wafat di Waktu yang Berbeda

fin.co.id - 11/05/2020, 02:33 WIB

Empat ABK Wafat di Waktu yang Berbeda

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Empat Anak Buah Kapal Warga Negara Indonesia dari 15 ABK WNI yang bekerja di Kapal Long Xing 629 meninggal dunia di waktu yang berbeda. Ini dikemukakan Tim Kuasa hukum 15 ABK WNI itu, DNT Lawyers.

Dalam urainnya DNT Lawyers menjelaskan kronologi sebenarnya yang terjadi pada para WNI yang bekerja di Kapal yang beroperasi selama lebih dari 13 bulan di Perairan Samoa (tepatnya di wilayah RFMO Western & Central Pacific Fisheries Commission) tersebut.

”Dua orang ABK bernama Sepri dan Alfatah mengalami sakit pada Desember 2019. Mereka sakit selama 45 hari sebelum meninggal. Pada masa kritis itu, Alfatih dipindahkan ke Kapal Long Xing 802, dan Sepri ke Long Xing 629. Mereka meninggal di kedua kapal tersebut,” demikian laporan tim DNT Lawyers yang diterima di Jakarta, Minggu (10/5).

Tim DNT Lawyers mengatakan, ABK WNI meninggal dunia karena penyakit misterius yang memiliki ciri-ciri sama, yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak nafas.

ABK WNI lainnya bernama Ari diketahui mengalami ciri-ciri sakit yang sama pada Maret 2020, dan menderita sakit selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal pada 30 Maret 2020 di Kapal Tian Yu 8.

Adapun Kapal Long Xing 629 memang tergabung dengan grup lainnya seperti Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8 di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.

Selama sakit, kapten kapal memberikan obat-obat yang tidak dapat dipahami ABK Indonesia karena tertulis dalam bahasa Cina, juga diduga telah kadaluarsa. Kapten juga menolak permintaan para ABK Indonesia untuk membawa temannya yang sakit ke rumah sakit di Samoa. Kapal Long Xing saat itu memang terus berada di tengah laut, tanpa pernah bersandar di daratan atau pulau.

Ketika tiga ABK WNI dinyatakan meninggal, para ABK WNI lainnya telah meminta agar jenazah rekan mereka disimpan di tempat pendingin agar dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun kapten kapal justru melarung jenazah tersebut ke tengah laut.

Selanjutnya, DNT Lawyers mengatakan satu ABK WNI lainnya Effendi Pasaribu meninggal dunia ketika kapal berlabuh di Busan, Korea. Effendi sebetulnya sudah merasakan ciri-ciri penyakit yang sama dengan tiga ABK WNI yang meninggal sebelumnya, sejak Februari 2020 atau dua bulan sebelum Kapal mereka berlabuh di Busan.

Namun, Otoritas Imigrasi Korea Selatan mengharuskan ABK tetap berada di atas kapal selama 10 hari sebagai bagian dari Protokol Covid-19. Para ABK baru diizinkan turun kapal pada 24 April, kemudian mereka menjalani karantina Covid-19 selama 14 hari di Hotel Ramada. Karantina itu difasilitasi oleh agen awak kapal Fisco Marine Corporation Busan.

Di saat itulah, penyakit Effendi baru diketahui. Tepatnya pada 26 April malam, Effendi dibawa ke Unit Gawat Darurat Busan Medical Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Effendi akhirnya meninggal pada 27 April 2020 pagi waktu Busan.

Menanggapi hal ini,  Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyesalkan lamban dan minimalisnya sikap Kementerian Luar Negeri RI dalam merespons peristiwa kematian anak buah kapal (ABK) asal Indonesia akibat tindakan eksploitasi oleh pemilik Kapal penangkap Ikan Long Xing 629 dari Tiongkok.

”Tidak hanya minimalis, Kemenlu RI juga tidak responsif mengurusi aspek administratif bagi para ABK yang meninggal itu. Akibat kelambanan dan sikap minimalis itu, para almarhum dan keluarganya tidak mendapatkan perlakuan yang layak,” terang Bamsoet dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu (10/5).

Dia menilai akibat sikap Kemenlu itu, masyarakat baru mengetahui peristiwa pelarungan jenazah dan eksploitasi ABK WNI itu pada pekan kedua bulan Mei 2020. Padahal menurut dia, peristiwa kematian dan pelarungan tiga ABK WNI itu terjadi pada Desember 2019 dan Maret 2020.

”Lagi pula viralnya peristiwa ini bukan karena inisiatif institusi pemerintah berbagi informasi kepada masyarakat. Tetapi, karena pemberitaan pers Korea Selatan dan aksi warganet memviralkannya,” ujarnya.

Admin
Penulis