Pendapatan dan Belanja Daerah Turun

fin.co.id - 09/05/2020, 05:30 WIB

Pendapatan dan Belanja Daerah Turun

Pesawat milik maskapai Citilink terdampak abu vulkanik erupsi Gunung Ruang di Bandara Sam Ratuangi, Manado, Sulawesi Utara

JAKARTA - Pemerintah daerah diminta menyesuaikan pendapatan dan belanja dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk menangani COVID-19. Berdasarkan laporan yang diterima pemerintah pusat per 7 Mei 2020, sebanyak 476 daerah itu terdiri dari 32 pemerintah provinsi, 357 pemerintah kabupaten dan 87 pemerintah kota.

“Sejak disampaikan surat keputusan bersama dengan Mendagri, kemudian terjadi perubahan yang cukup cepat dari APBD. Dari laporan penyesuaian APBD itu, terjadi penurunan 15,1persen untuk total pendapatan daerah. Yakni dari Rp1.133,6 triliun menjadi Rp962,1 triliun. Begitu juga untuk belanja daerah turun 14,6 persen. Dari total Rp1.164,8 triliun menjadi Rp994,4 triliun.

Menurutnya, pemanfaatan hasil penyesuaian APBD itu mencapai Rp50,59 triliun. Anggaran itu digunakan untuk tiga bidang dalam mengatasi COVID-19. Yakni kesehatan sebesar Rp22,1 triliun, jaringan pengaman sosial Rp19 triliun dan penanganan dampak ekonomi Rp9,32 triliun.

Sedangkan 63 kabupaten dan kota serta dua provinsi yakni Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua belum menyampaikan laporan penyesuaian. “Kalau belum kami akan melakukan semacam sanksi yaitu penundaan DAU (dana alokasi umum),” imbuh mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Sebelumnya, Menteri Keuangan bersama Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan bersama untuk percepatan penyesuaian APBD tahun 2020 dalam penanganan COVID-19 serta pengamanan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional. Pokok pengaturan dalam keputusan bersama itu yakni penyesuaian target pendapatan daerah, belanja daerah dan selisih hasil penyesuaian pendapatan dan belanja daerah yang digunakan untuk kesehatan, bantuan sosial dan penanganan dampak ekonomi.

Sementara itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar berharap seluruh kepala daerah mempercepat sinkronisasi data penerima bantuan langsung tunai desa. "Saya harap seluruh kepala daerah bisa cepat melakukan sinkronisasi data. Supaya ada percepatan penyaluran BLT desa," ujar Halim Iskanda di Jakarta, Jumat (8/5).

Dia menjelaskan sebagai wujud komitmen perhatian pemerintah terhadap rakyat, maka dana desa direalokasi jadi BLT. Menurutnya, BLT dana desa ini sasarannya adalah warga miskin yang kehilangan mata pencaharian karena COVID-19. Selain itu, bagi mereka yang belum mendapat apapun dari kebijakan pemerintah. "Jadi mereka yang belum dapat PKH, program pangan non tunai, itu sasaran penerima BLT dana desa. Ditambahkan juga keluarga yang memiliki kerentanan, keluarga sakit kronis, juga masuk sebagai faktor penerima," paparnya.

Dia menekankan pendataan penerima BLT dilakukan oleh relawan desa yang dibentuk dan ketuai kepala desa. Basis pendataan dilakukan melalui RT dan diupayakan pendataan dilakukan oleh tiga relawan desa. "Karena ini pendataan baru, keluarga miskin karena kehilangan mata pencaharian ini butuh pendefinisian miskin. Nah, indikatornya karena kehilangan mata pencaharian. Pendataan oleh 3 orang agar ada kesepahaman lebih dari 1 orang bahwa keluarga itu miskin," jelasnya.

Selanjutnya tahapan pendataan dari tingkat RT dibawa ke forum musyawarah desa khusus untuk melakukan verifikasi dan validasi. Hal ini penting agar tidak ada pihak-pihak yang merasa tidak diajak dalam membahas dan memutuskan siapa yang berhak menerima BLT dana desa. "Setelah disepakati di musyawarah desa khusus, maka akan ditetapkan oleh kepala desa. Hal ini juga sebagai ruang agar kepala desa tidak jadi tumpuan kesalahan apabila data tidak akurat," ujarnya.

Setelah pembahasan pada tingkat desa selesai maka data dibawa ke tingkat kabupaten untuk sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang tindih. Diamenekankan, sinkronisasi ini yang perlu dipercepat oleh seluruh kepala daerah. "Saya harap dukungan kepala daerah, bupati/walikota agar data masuk segera diselesaikan," ucap Halim Iskandar.

Terpisah, Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan prediksi berbagai kalangan yang menyebutkan kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia akan terjadi secara ekstrem, tidak terbukti.

Dia mengatakan hingga 7 Mei 2020, laju kasus COVID-19 di Indonesia terus menunjukkan tren menurun. Di sisi lain, jumlah pasien positif virus Ccorona yang sembuh menunjukkan kenaikan. "Kita bersyukur ternyata prediksi kasus di Indonesia akan tumbuh secara eksponensial yang sangat ekstrem tidak terjadi. Karena angka kasus rata-rata masih relatif rendah," kata Muhadjir, Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (8/5).

Pertumbuhan angka kasus positif COVID-19, lanjutnya, setiap hari terus melandai. Pertumbuhan tertinggi per hari pun tidak pernah melewati 500 kasus. Berbeda dengan beberapa negara di Asia, atau bahkan Eropa. Dia mencontohkan Singapura yang pernah mencatatkan penambahan kasus hingga 1.400 kasus positif dalam satu hari. "Kemudian untuk kesembuhan semakin tinggi di Indonesia yaitu sudah mendekati 300 kasus per hari. Untuk angka kematian juga landai. Tidak ada penambahan yang cukup drastis," terangnya.

Di ASEAN, Indonesia memang berada pada urutan kedua tertinggi sebagai negara dengan kasus positif terinfeksi Corona. Namun, Muhadjir meminta perbandingan dilakukan menyeluruh. Selain itu, juga turut melihat rasio yang membandingkan jumlah kasus positif dengan jumlah penduduk di masing-masing negara. “Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, tentu saja sebetulnya angka kasus COVID-19 ini tidak terlalu istimewa. Karena jumlah penduduk Indonesia adalah 263 juta dibanding dengan Filipina yang 110 juta penduduk. Apalagi Singapura yang sekitar enam juta penduduk," tukasnya.(rh/fin)

Admin
Penulis