JAKARTA - Naiknya konsumsi kebutuhan pokok di tingkat pengecer berbanding terbalik dengan industri rumahan. Salah satu yang terdampak yakni harga rotan yang anjlok begitu dalam. Sementara itu Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta agar pemerintah segera merealisasikan stimulus bagi petani, setelah Badan Pusat Statistik mencatat turunnya nilai tukar petani (NTP) secara nasional pada April 2020 sebesar 1,73 persen menjadi 100,32, dibandingkan NTP Maret 2020 yaitu 102,09.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalimantan Barat Rudyzar Zaidar Mochtar menyatakan kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan ekspor rotan yang tidak diubah sehingga merugikan petani hingga industri pengolahan.
”Maka kami mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan perdagangan rotan, yang saat ini sangat tepat untuk menyangga kesejahteraan masyarakat di tengah melemahnya perekonomian nasional akibat pandemi Covid-19," kata Rudyzar Zaidar Mochtar, Kamis (7/5).
BACA JUGA: Pasar Anyar Terapkan Jaga Jarak Antar Pedagang
Tata niaga rotan saat ini diatur oleh Permendag Nomor 35 tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan dan Produk Rotan. Ketentuan itu melarang ekspor rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S dan rotan setengah jadi.Meski bertujuan untuk mendorong rotan mentah dan setengah jadi diolah menjadi produk jadi demi nilai tambah, nyatanya tujuan tersebut tidak pernah tercapai. ”Ya saat ini ekspor produk rotan mayoritas ke furnitur. Tapi malah melorot tajam,” ungkapnya.
Karena, menurut Rudyzar, penutupan ekspor membuat harga rotan mentah dan setengah jadi tertekan yang berdampak pada produksi yang seret karena tidak lagi menguntungkan. "Ujungnya, pasokan rotan untuk industri furnitur malam mampet," ujarnya.
Dia menambahkan Permendag Nomor 35/2011 telah merugikan semua pihak dalam rantai pemanfaatan rotan di Tanah Air, yang berdampak pada petani pemungut rotan menjadi menderita, industri pengolahan rotan setengah jadi tutup, dan ekspor rotan juga tidak berhasil.
”Kebijakan untuk menutup ekspor rotan bahan baku rotan atau setengah jadi sudah dilakukan sejak tahun 1979 atau hingga saat ini sudah enam kali. Semuanya tidak berhasil, malah merusak potensi ekonomi rotan itu sendiri," kata Rudyzar.
Berdasarkan data BPS, mencatat periode 2011-2018 ekspor furnitur rotan memang turun, saat Permendag Nomor 35/2011 efektif diberlakukan. Tahun 2012, ekspor rotan turun sebesar 45 persen dan penurunan itu terus terjadi mulai 2012-2018 hingga minus 16 persen.
BACA JUGA: Arteta Sarankan Klub Fokus Keselamatan Pemain di Tengah Covid-19
Nilai ekspor mebel rotan pada 2011 sempat sebesar 74 juta dolar AS, namun pada tahun 2018 hanya tinggal 19 juta dolar AS. ”Terlihat pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang niatnya agar industri furnitur rotan Indonesia tumbuh, ternyata malah sebaliknya,” katanya.Malah pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, kata dia, menguntungkan petani rotan dari negara tetangga, seperti Filipina yang saat ini memasok kebutuhan rotan dunia sebesar 70 persen. ”Sementara di sisi lain, berkurangnya pasokan rotan mentah dan setengah jadi dari Indonesia, justru memicu produk tidak ramah lingkungan, yakni rotan plastik, yang malah diikuti industri furnitur rotan Tanah Air,” terangnya.
Indonesia sebagai pusat pertumbuhan rotan dunia, lanjut dia, sejatinya memiliki keunggulan sebagai pemasok bahan baku. Indonesia saat ini bukan dan belum menjadi penghasil mebel rotan yang artistik.
Berdasarkan data Sucofindo tahun 2012, jumlah rotan yang diperdagangkan di dalam negeri untuk kemudian diekspor sebagai produk rotan adalah 33.271 ton, sementara produksi rotan lestari di Indonesia 247.291 ton kering.
”Artinya rotan yang termanfaatkan hanya sekitar 13,5 persen dari kapasitas produksi lestari. Jadi masih terdapat 214.019 ton atau 86,5 persen yang belum dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi potensial,” urainya.
Oleh karena itu, menurut dia, menutup ekspor rotan setengah jadi sama saja dengan menutup pasar bagi 86,5 persen rotan yang dimiliki Indonesia. ”Saat pemakaian rotan di dalam negeri hanya sebesar 13,5 persen, maka pilihannya harusnya mengizinkan ekspor, bukan malah melarang. Kalau misalnya konsumsi atau pemakaian dalam negeri sudah mencapai 60 persen atau lebih, maka lakukanlah larangan ekspor,” jelas Rudyzar.
BACA JUGA: 316 Warga Makassar Dinyatakan Reaktif Positif
Terpisah, Ketua Umum SPI Henry Saragih menilai posisi NTP April di 100,32 ini hanya selisih sedikit berada di atas angka 100 yang menjadi standar impas petani, sekaligus menandakan rendahnya daya beli petani dan kesejahteraannya.”NTP pangan berada di 100,38. Laporan petani anggota kita berbagai wilayah juga menunjukkan penurunan,” kata Henry melalui keterangannya.Penurunan NTP ini diikuti dengan naiknya Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) petani. Konsumsi Rumah Tangga Petani merupakan salah satu komponen Nilai yang Dibayar oleh Petani. Secara nasional, pada April 2020 terjadi kenaikan IKRT sebesar 0,11 persen sebagai dampak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) COVID-19, khususnya biaya makanan, minuman, komunikasi, kebutuhan rutin dan jasa lainnya.
BACA JUGA: Puluhan Santri Dari Gontor Tiba di Bandarlampung
Henry menyebutkan pemerintah harus segera memberi stimulus ke petani, memperluas subsidi pertanian yang sebelumnya hanya di sektor input hingga merata ke sektor output pertanian. ”Perluas subsidi pertanian dan perluas ke jaminan harga pembelian yang menguntungkan bagi petani oleh pemerintah dengan mensubsidi ketika harga jual dari petani anjlok,” jelas Henry.Ia juga menyarankan agar pemerintah melakukan penguatan kelembagaan koperasi petani untuk membeli produk petani dengan harga yang ditetapkan dan menguntungkan petani, serta menyalurkan pangan ke lembaga-lembaga pemerintah. Menurut dia, penguatan koperasi akan memotong rantai pasok distribusi dengan memaksimalkan peran Bulog, BUMN pangan lainnya dan koperasi petani untuk menampung logistik hasil panen.