Permintaan DPR Ditolak BI

fin.co.id - 01/05/2020, 22:59 WIB

Permintaan DPR Ditolak BI

JAKARTA – Desakan DPR RI agar Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang senilai Rp600 triliun untuk memberikan likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah sepertinya tidak akan dilakukan. Indikasi ini diisyaratkan jelas oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, kemarin (1/5).

BI lebih memilih melakukan kebijakan moneter lainnya demi menambah likuiditas. Seperti menurunkan giro wajib minimum (GWM) hingga membeli Surat Berharga Negara ( SBN) di pasar sekunder. ”Salah satu pertimbangannya, bank sentral tidak ingin mengulang kasus mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi hingga 67 persen,” terang Perry Warjiyo dalam keterangannya.

Ditambahkannya, esensinya yang disodorkan DPR berbeda dengan pencetakan uang. ”Kalau pencetakan uang, bank sentral menambah uang beredar, tapi tidak mampu menyerap kalau nanti kelebihan likuditas,” timpal Perry.

Selain itu, BI kini mengambil langkah perluasan operasi moneter demi menambah likuiditas. Selama Januari hingga April 2020, BI telah menggelontorkan Rp503,8 triliun melalui langkah quantitative easing guna mencukupi ketersediaan likuiditas perbankan di tengah pelamahan ekonomi akibat Pandemi Covid-19.

”Ya tentu saja berbeda dengan yang kita lakukan sekarang, operasi moneter dalam mengelola likuiditas di perbankan supaya cukup. Itu yang kami sebut dengan quantitative easing,” imbuh Perry.

Ditambahkan Perry melanjutkan, pembiaayaan melalui SBN juga dilakukan secara hati-hati atau prudent. Imbal hasil SBN juga tak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter. ”Ketentuan Yield SBN enggak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter dan harus kredibel sekarang perlu digelontorkan. Tahun depan kelebihan kami juga harus menyerap. Itu adalah kaidah-kaidah yang prudent, masalah beda cetak uang dengan quantitative easing,” paparnya.

Kasus BLBI masih diingat olehnya. Saat itu BLBI bank sentral mengedarkan uang, penggantinya diberikan surat utang pemerintah. surat utang pemerintahnya tersebut tidak kredibel. ”Ya tidak kredibel karena suku bunganya mendekati nol, kemudian inflasinya naik, bank sentral tidak menyerap surat utang pemerintah, likuiditas, Di tahun 98-99 inflasinya 67 persen, itu yang disebut pencetakan uang,” tegasnya.

Menimpali pernyataan Perry, ekonom Bank Permata Josua Pardede juga mengingatkan deretan risiko jika BI mencetak uang hingga Rp600 triliun untuk menopang pembiayaan Covid-19 sesuai usul DPR. ”Jelas fatal. Tentu dampaknya pada risiko inflasi yang tinggi,” ucapnya.

Menurut dia, apabila terjadi inflasi maka peredaran uang menjadi tinggi di masyarakat, namun tidak diimbangi dengan pasokan produksi yang memadai. Akibatnya, lanjut dia, harga barang akan melonjak yang membuat daya beli masyarakat menurun.

Sektor industri, kata dia, juga mengurangi produksi karena harga barang yang tinggi. Imbasnya, industri atau perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.

Dampak lainnya, lanjut dia, membuat perekonomian Indonesia merosot dan investasi di Tanah Air menjadi tidak menarik di kalangan investor. Tidak hanya itu, jika bank sentral mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat, maka stabilitas rupiah menjadi anjlok.

”BI juga menghindari kondisi seperti kejadian BLBI banyak penyelewengan, kita harus banyak belajar dari pengalaman. Langkah BI saat ini sudah tepat dengan tidak mencetak uang,” imbuhnya.

Adapun kebijakan yang diambil BI adalah dengan melakukan quantitative easing atau melonggarkan kebijakan moneter untuk menambah likuiditas perbankan.

Hingga saat ini, BI sudah menginjeksi likuiditas sebesar Rp503,8 triliun yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini harus didukung dengan stimulus fiskal dari pemerintah karena kebijakan moneter dari BI tidak bisa langsung berdampak ke sektor riil.

Admin
Penulis