Pilihan PSBB nampaknya bukanlah solusi akhir. Karena sangat tidak ideal, dan rentan menimbulkan dampak sosial. ”Saya yakin pemerintah saat ini sedang menyiapkan strategi lain,” ujar Nasrullah.
Dalam fikiran penulis, pilihan selain PSBB adalah Herd Immunity. Inggris, Belanda dan Swedia sempat melirik metode ini. Namun herd immunity bernuansa seperti kalah perang. Sebagian mental masyarakat juga bisa down jika mendengar angka pasien yang semakin meningkat. Dan akhirnya, ketiga negara itu kembali lagi ke strategi Lockdown.
Singapura yang awalnya dibanggakan dengan strategi total football-nya menghadapi Covid dan berhasil menekan jumlah penderita, ternyata sekarang jebol, terjadi ledakan penderita dan kini, per tulisan ini dibuat, ada 6558 kasus, menyusul Indonesia dan Filipina. Padahal negara kecil.
Kuwait yang menerapkan Lockdown total dan jam malam, malah angka penderitanya meningkat dari 37 menjadi 1995 kasus. ”Lockdown ketat, malah penderita meningkat. Kok bisa?” katanya.
Dan yang kini menjadi berita hangat, Amerika diambang tahapan kerusuhan sosial. Twit Donald Trump untuk memprovokasi pendukungnya untuk liberate atau melawan lockdown malah berbuah demonstrasi besar-besaran di banyak negara bagian. ”Lalu, Indonesia mau apa?” kata Nasrullah.
Danger Versus Fear
Dalam keadaan ini, rasanya Indonesia bisa menyalip di tikungan, mengutip ungkapan-ungkapan yang sering dikemukakan Mardigu Wowik. ”Ya, saya sependapat. Saya yakin, Indonesia bisa menyalip di tikungan. Saat semua negara kebingungan, Indonesia bisa pulih lebih awal. Dan membangun ekonomi lebih cepat dari yang lain,” bebernya.
Dikatakan Nasrullah, semua itu bisa dilakukan, asalkan semua pihak mengetahui bedanya Danger dengan Fear. Benar, Covid-19 adalah Danger, tapi kita tidak boleh berada dalam state Fear terus menerus. Harus ada titik tenangnya. Makin cepat titik tenang ini tercapai, makin cepat kegiatan masyarakat bisa pulih kembali.
”Maksudnya begini. Covid-19 mungkin sampai dua tahun ke depan akan tetap menjadi bahaya yang mengintai. Dan harus difahami itu sebagai hal yang lumrah. Seperti bahaya perampok, itu semua sudah faham, sampai kapanpun akan ada perampok. Tapi kita tidak lagi berada dalam ketakutan kan? Karena yakin ada polisi yang bekerja profesional. Dan dengan pembagian tugas dengan Polisi, kita bisa tidur nyenyak,” papar Nasrullah.
Mencapai Titik Tenang
Maka, yang diperlukan menghadapi Covid-19 ini bukan vaksin. Karena bagi Nasrullah, menunggu vaksin adalah sebentuk kekalahan. Selain waktu yang tidak bisa diprediksi, vaksin juga harus mengeluarkan biaya mahal yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, dampak ekonomi juga sudah habis-habisan, selama masa menunggu. ”Jika vaksin tidak bisa ditunggu, lalu apa?” ujar Nasrullah.
Hemat Nasrullah, semua pihak terutama pemimpin sosial harus berfikir tentang titik tenang ini. Dibanding dengan kampanye stay at home, harus ada kampanye lain yang lebih bernuansa solusi. ”Perlu dicatat, saya bukan berarti menganggap kampanye stay at home tidak bermanfaat. Namun lebih ke menatap solusi lain,” imbuhnya.
Misalnya titik tenang menghadapi perampok yang merajalela, adalah kampanye besar-besaran bahwa Polisi bekerja dengan profesional. Diblow up besar-besaran di media bahwa gembong-gembong besar perampok sudah ditangkap. Itu akan membuat tenang masyarakat dibandingkan dengan kampanye berhati-hatilah dengan bahaya perampok, dan selalu duduklah di rumah.
Begitu juga dengan Covid19. ”Sudah jelas bahwa PSBB dan stay at home mengandung resiko yang belum bisa diukur sekarang. Herd Immunity juga saya fikir bukan pilihan bijak,” cetus Nasrullah.
Nasrullah kemudian menawarkan Quranic Immunity yang ditujukan bagi komunitas Muslim. ”Untuk agama lain, penulis yakin bisa juga diarahkan kembali ke agama masing-masing,” tuturnya.