Sosok sang Kiai Sahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung. Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.
Sang kiai juga tidak mengenakan kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.
Saya pun minta diantar keliling pondok. Tidak mungkin berjalan kaki. Luas sekali.
"Kita pakai mobil," ujarnya.
Ia panggil pak sopir supaya mengambil mobil.
Setelah mobilnya datang si sopir diminta turun. Kiai sendiri yang akan mengemudikan mobil itu: sedan Audi warna hitam yang relatif masih baru.
Semua bangunan bertingkat di Gintung itu Kiai sendiri yang menggambar. Tepatnya: yang merancang. "Saya menggambarnya di tanah," katanya sambil tertawa.
Tata letak gedung-gedung itu juga ia sendiri yang menentukan.
Bahkan ia sendiri yang mengemudikan alat-alat berat untuk menggali tanah. Kalau ia lagi di atas bego sama sekali tidak terlihat kekiaiannya.
Rupanya keinginan menjadi insinyur tidak pernah padam. Diam-diam ia mendalami sendiri ilmu teknik di luar bangku kuliah.
"Awalnya karena senang saja. Lalu karena marah," ujar Kiai Sahiduddin.
Kenapa?