Ternyata pesawat belum juga terbang. Masih di antrean ketiga.
Kesimpulan waktu itu: harus dibangun landasan ke-3. Kejengkelan penumpang pesawat sudah luar biasa.
Tapi saya selalu tidak setuju itu. Biayanya terlalu besar. Sekitar Rp 50 triliun.
Mengapa?
Karena harus membeli lahan baru. Luasnya sekitar 700 hektare.
Mengapa harus membeli lahan tambahan?
Lahan yang ada tidak cukup. Kalau landasan No.3 dipaksakan, jarak antarlandasan tidak memenuhi syarat keamanan penerbangan.
Jarak antarlandasan itu harus 1 Km. Itulah pula jarak antara landasan No. 1 dan No. 2 di Cengkareng.
Saya tidak tahu benarkah harus begitu. Saya bukan ahli ilmu jarak antarlandasan. Saya hanya mengutip dari yang berpendapat begitu.
Tapi saya sangat setuju: keterlambatan pesawat yang keterlaluan di bandara Jakarta harus diatasi.
Langkah-langkah perbaikan pun diinventarisasi. Kapasitas tower pengatur lalu-lintas ditambah. Kalau dulu hanya menghadap satu sisi, harus menjadi dua sisi.
”Jalan masuk” dari taxiway ke landasan harus ditambah. Dengan demikian pesawat yang baru mendarat bisa segera ke luar landasan. Tidak perlu keluar di ujung landasan. Agar pesawat lain bisa segera terbang atau mendarat.
Dan banyak lagi.
Salah satunya itu tadi: membangun jalan khusus untuk menyambung ujung timur landasan No.1 dan ujung timur landasan No.2.
Itu untuk menambah fleksibilitas pergerakan pesawat di bandara.