Transisi Energi Harus Terukur, Jangan Terburu-Buru

Transisi Energi Harus Terukur, Jangan Terburu-Buru

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan pemerintah memang tidak menutup pintu terhadap transisi energi dari fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun demikian peran migas yang masih sangat strategis membuat proses peralihan harus dilakukan secara terukur dalam masa transisi seperti saat ini.

“Kebijakan energi dunia saat ini menuju pada energi bersih yang secara bertahap akan menggantikan fosil. Untuk itu diperlukan proses peralihan yang terukur dan dalam masa transisi ini, peran migas masih strategis,” kata Arifin dalam pembukaan – The Virtual 45th IPA Convex 2021, Rabu (1/9/2021) lalu.

Pernyataan ini bertolak belakang dengan kebijakan PLTS Atap yang kesannya terburu-buru untuk mengejar bauran Energi Baru Terbarukan (EBT), namun mengorbankan sisi lain yaitu Tingkat Kandungan Dalam Negeri, hingga revisi aturan tarif ekspor - impor listrik yang dianggap merugikan BUMN PLN.

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean mengatakan, transisi energi memang tidak bisa dilakukan secara terburu-buru dan membabi buta. Segala kebijakan yang mengarah kesana harus melalui kajian yang komprehensif dan transisi pun dilakukan secara konsisten dan terukur.

BACA JUGA: Energy Watch: Revisi Aturan PLTS Atap Berpotensi Memberatkan Negara

"Kalau kita melihat realita bagaimana proses peralihan dan transisi energi kedepan, mungkin saat ini dan nanti masih 5-10 tahun kedepan masih akan didominasi oleh Migas," ujar Ferdinand kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Sabtu (4/9/2021).

Ferdinand mengapresiasi pernyataan Menteri ESDM Arifin Tasrif yang menyebutkan bahwa transisi energi primer dari fosil ke EBT akan dilakukan secara bertahap dan terukur. Namun demikian sayangnya, pernyataan Arifin Tasrif itu dianggap Ferdinand bertolak belakang dengan kebijakan lainnya, yaitu revisi Permen ESDM No.49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) oleh Konsumen PLN.

BACA JUGA: Komponen PLTS Didominasi Barang Impor, Ini Penyebabnya

"Terkait hal itu sudah benar menteri ESDM, harus sangat hati-hati melihat program EBT. Apalagi EBT ini kan butuh biaya pendanaan yang tidak sedikit. Namun demikian di satu sisi, Menteri ESDM juga mengeluarkan peraturan Menteri tentang PLTS Atap. Sehingga ini menjadi aneh dan tidak sinkron antara satu pernyataan dengan pernyataan lain. Satu kebijakan dengan kebijakan yang lain, ini kan bertolak belakang jadinya," tuturnya.

BACA JUGA: Pertamina Targetkan Penurunan Emisi Karbon 34 Ribu Ton per Tahun dari 5000 PLTS GES

Ferdinand menambahkan, jika Menteri ESDM masih fokus pada penggunaan BBM konvensional berupa energi fosil, maka sebaiknya tentang PLTS atap ini harus dilihat juga, sejauh mana urgensinya saat ini, agar tidak menjadi Beban bagi PLN, beban bagi BUMN yang lain.

"Maka itu Menteri ESDM sebelum mengeluarkan peraturan atau kebijakan-kebijakan lainnya dikaji dulu secara seksama, antara satu sektor dengan sektor yang lain. Ini harus bisa disatukan, dikoordinasikan oleh Menteri. Disinilah saya pikir Menteri ESDM ini gagal mengkoordinasikan jajarannya, sehingga muncul pernyataan yang tidak sinkron," pungkasnya. (git/fin)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: