Low 100 Kilo

Low 100 Kilo

Diaway--

Jadi, masyarakat mana yang akan melewati jalan 100 km itu nanti? Bukankah hampir tidak ada penduduk di kawasan itu? Mungkin justru truk pengangkut sawit yang akan lebih banyak melewatinya. Sawit rakyat dan sawit perusahaan lain.

Dalam perjalanan itu saya ikut mobil yang dikemudikan Pak Yudiansyah. Ia asli kampung Gunungsari, di pinggir sungai Belayan. Ia sudah turun temurun tinggal di situ. Sukunya Kutai. Ia punya kebun sawit lebih 100 hektare. Sawit itu sudah berumur 18 tahun. Sudah bisa jadi sumber penghidupan. "Sekarang orang Dayak pun sudah banyak yang punya kebun sawit," ujar Yudi.

Saya diajak keliling tambang. Lalu menyeberangi sungai Belayan dengan feri. Mobil Pak Yudiansyah ikut naik feri: Pajero Sport. Feri itu ternyata miliknya sendiri. Ia punya lima kapal feri. Yakni jenis yang bisa untuk angkut 5 mobil. Salah satu ferinya terbuat dari kayu: bisa untuk dua mobil.

Lalu saya diajak ke jembatan baru yang sedang dibangun Bayan itu. Yang lokasinya jauh di hulu dari jalur penyeberangan ferinya. "Jembatan ini tidak mengganggu feri saya. Terlalu jauh, lebih 6 km," katanya.

Ikan besar harus didapat dengan kail besar. Investasi jalan Rp 3 triliun agar bisa angkut batu bara lebih banyak. Tapi investasi Rp 3 triliun itu mungkin hanya akan dimanfaatkan selama 25 tahun. Habis itu jalan tersebut ditinggalkan. Batu bara habis. Maka perencanaan wilayah masa depan di pedalaman Kaltim bisa memanfaatkan aset berharga ini. Yakni jalan peninggalan Bayan sepanjang 100 km. Apalagi jalan itu nyambung dengan jalan menuju sungai Senyiur yang 70 km.

Tapi belum tahu kapan batu bara di situ akan habis. Pun dengan produksi yang dipacu seperti itu.

Mungkin pula Bayan tidak akan menggunakannya sampai 25 tahun. Datuk Low Tuck Kwong kini punya ide yang lain lagi. Yang lebih out of the box: membangun rel kereta api dari Tabang ke laut Selat Makassar di Sangatta.

Itu berarti dari hulu sungai Belayan, melintasi hulu sungai Senyiur, terus ke atasnya Bontang, berakhir di laut Selat Makassar. Panjang rel itu sekitar 100 km juga. Biayanya bisa sampai Rp 5 triliun. "Lebih mahal bikin jalur kereta api daripada jalan raya," ujar Haji Aseng yang membawa saya ke kawasan ini (lihat Disway edisi Minggu lalu).

Jalan kereta api itu bukan rencana di awang-awang. Bayan sudah mengurus izinnya. Sudah selesai. Ini sebenarnya rencana lama Bayan. Lama sekali. Sebelum keputusan membangun jalan raksasa 100 km menuju Muara Wahau dibuat.

Ide jalan kereta api tersebut sempat diambil alih pemerintah daerah. Lalu ditawarkan ke investor asing: Rusia. Serius sekali. Beberapa mahasiswa Kaltim sudah disekolahkan ke Rusia.

Setelah lebih 10 tahun tertunda, Rusianya mundur. Maka Bayan maju lagi. Tanpa investor asing. Dibiayai sendiri.

Mungkin Bayan menyesal telanjur membangun jalan raksasa 100 km ke arah Muara Wahau. Kenapa tidak sekalian jalan kereta api itu saja. Bisa hemat Rp 3 triliun. Tapi Bayan tidak mau menyalahkan Rusia. Pun Pemda.

Yang jelas, jalan raksasa itu kelak akan jadi kekayaan pedalaman Kaltim. Bayan tidak bisa membawanya ke Jakarta atau ke Singapura.

Di lain pihak tidak mungkin mengharapkan pemerintah mau membangun jalan di jalur itu, sepanjang itu, sekokoh itu. Membangun jalan Samarinda-Balikpapan saja –90 km– perlu waktu 20 tahun. Padahal urgensinya jelas tinggi.

Bayan tentu sudah berhitung. Membangun jalan itu habis Rp 3 triliun. Tapi batu bara yang bisa lewat di atasnya lebih 30 juta ton setahun. Dengan harga batu bara USD 400/ton saat ini angka-angka di atas hanyalah angka.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber: