Evaluasi Pelaksanaan Pilkada

Evaluasi Pelaksanaan Pilkada

JAKARTA - Pemerintah berencana segera mengkaji evaluasi penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang selama ini dilakukan secara langsung. Evaluasi diklaim bukan untuk mengembalikan ke Pilkada tidak langsung. Kemarin, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri (BPP Kemendagri), melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak untuk membahas kolaborasi kajian evaluasi pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kegiatan ini sebagai tindak lanjut dari proses pembahasan sebelumnya, bersama sejumlah pihak yang terlibat dalam kajian. Hadir dalam kegiatan tersebut, Pelaksana Tugas Kepala BPP Kemendagri Agus Fatoni, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Kastorius Sinaga dan sejumlah lembaga pegiat pemilu. Hadir pula sejumlah lembaga think tank independen yang diajak kerja sama. Seperti dari Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Litbang Kompas, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Perhimpunan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), serta Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Fatoni yang memimpin jalannya rapat menuturkan, pertemuan itu bermaksud untuk membahas persiapan kolaborasi kajian evaluasi Pilkada. Ia juga menyebutkan, beberapa masukan dari Mendagri terkait jalannya kajian. Dengan menggandeng lembaga think tank independen, Fatoni berharap kajian yang dihasilkan dapat lebih objektif. Selain itu, sejumlah lembaga litbang harus dapat mengambil peran di berbagai sisi dan isu yang diambil tidak tumpang tindih. “Diharapkan hasilnya optimal dan tidak overlapping,” kata Fatoni di Jakarta, Sabtu (7/3). Senada dengan Fatoni, Kastorius menyebutkan, kajian ini merupakan komitmen Mendagri untuk mengevaluasi Pilkada dari lembaga Litbang di luar Kemendagri. Dengan langkah ini diharapkan mendapat gambaran secara independen berbasis ilmiah. Sebab, jika kajian itu dilakukan oleh internal Kemendagri dikhawatirkan hasilnya bakal cenderung bias. “Karenanya kami sangat membutuhkan evaluasi dari lembaga penelitian yang memiliki kepentingan untuk membangun Indonesia,” jelasnya. Tahun ini, lanjutnya, Indonesia telah memasuki gelaran Pilkada Langsung yang keempat. Hal itu wajar jika dilakukan evaluasi. Terutama menyangkut penyelenggaraan pilkada dalam proses demokrasi. Kajian ini, merupakan upaya untuk melahirkan rekomendasi kebijakan perbaikan. Dirinya menepis anggapan masyarakat, yang menilai langkah evaluasi hendak menerapkan pilkada dengan metode lama. Evaluasi yang dilakukan justru ingin menentukan langkah yang lebih efektif, terutama dalam rangka memperkuat demokrasi dan pembangunan di Indonesia. “Bukan kita ingin memutar arah jarum jam kembali ke isu-isu yang lama. Tetapi demi efektivitas dari Pilkada dalam rangka penguatan demokrasi kita, dan selaras dengan pembangunan kita termasuk dalam hal ekonomi,” jelasnya. Dirinya menekankan, Kemendagri tidak ingin mencampuri dari segi muatan evaluasi pilkada yang dilaksanakan lembaga independen tersebut. Muatan yang dimaksud, baik berupa metodologi, variabel yang digunakan, maupun fokus aspek kajian (ekonomi, politik, sosial, maupun dampaknya). Kemendagri, lanjut Kastorius, menyerahkan kajian itu kepada masing-masing lembaga litbang. Secara fungsi, Kemendagri hanya berperan sebagai pendukung anggaran agar penelitian ini berlangsung maksimal. Sementara itu, berbagai lembaga litbang yang hadir mengapresiasi ihwal langkah kerja sama tersebut. Mereka berharap kajian evaluasi ini benar-benar dilakukan secara indepen. Di sisi lain, lembaga litbang juga menyampaikan sejumlah isu penting menyangkut pilkada. Seperti yang disebutkan salah satu peneliti Puskapol UI, Aditya. Ia menyampaikan isu yang dinilainya menarik. Yakni, mengupas dampak jalannya pilkada terhadap tata kelola pemerintahan, apakah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Isu lainnya seperti otonomi khusus juga turut disoroti. “Kami ingin memfokuskan soal dampak,” ucapnya. Direktur CSIS Philips J Vermonte, menyebutkan beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan, jika orientasi dari kajian hendak membenahi regulasi. Di sisi lain, katanya, secara substansi mengevaluasi Pilkada tidak bisa berdiri sendiri. Tetapi juga perlu melihat berbagai faktor yang turut memengaruhi. Karenanya, CSIS akan berusaha mengevaluasi jalannya Pilkada secara menyeluruh, baik dari aspek ekonomi maupun politik. Sebelumnya, Pengamat politik Ujang Komarudin memaparkan, jika nantinya kepala daerah dipilih oleh DPRD, kandidat akan melobi ketua parpol untuk mendukungnya di parlemen. Kandidat yang mampu melobi dua partai terbanyak di parlemen,dipastikan menang dalam pemilihan tersebut. “Coba itu berapa per kepala? Apa Rp500 juta apa Rp1 miliar. Menurut saya hal itu akan terjadi. Jangan munafik terkait hal tersebut,” kata Ujang kepada Fajar Indonesia Network (FIN) di Jakarta, Sabtu (7/3). Dia menganalogikan, jika di DPRD ada 50 kursi. Partai A memiliki 14 kursi dan partai B 12 kursi. Kedua partai tersbut tinggal berkoalisi dan dipastikan bisa mengusung kepala daerah. Karena sudah punya 26 suara. “Saya rasa ini kemunduran demokrasi. Wacana ini pernah mencuat pada era pak SBY, kamudian di Perppu. Sekarang muncul lagi. Sudah bisa ditebak arahnya kemana,” papar Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini. Jika pilkada dilaksanakan secara tidak langsung, siapa pemenang sudah bisa ditentukan sebelum pemilihan dimulai. Bahkan, pilkada bisa dijadikan permainan oleh elit. Sedangkan rakyat, hanya jadi penonton tanpa diikutsertakan. (khf/fin/rh)

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


admin

Tentang Penulis

Sumber: