News

Setahun Jokowi-Ma'ruf, Fadli Zon: Banyak Sekali Kemunduran

JAKARTA- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai, satu tahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Maruf Amin, atau jika digabungkan dengan periode pertama kepemimpinan Jokowi, telah terjadi banyak kemunduran. "Kalau diminta menilai perjalanan setahun terakhir, apalagi enam tahun terakhir, tanpa bermaksud melebih-lebihkan, cukup jelas saya melihat ada banyak sekali kemunduran yang telah kita alami." Ujar Fadli Zon lewat keterangan tertulisnya, Selasa (20/10). Fadli mengatakan, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi rakyat dan negara sama-sama memikul beban yang kian berat. Setidaknya menurut Fadli, ada beberapa beban berat yang selama pemerintahan Jokowi berlangsung. "Pertama, adalah beban utang. Akibat miskalkulasi, mismanajemen, serta kerja-kerja pembangunan tuna konsep, Indonesia kini harus menanggung beban utang yg sangat berat." Ucap anggota DPR RI dapil V Jawa Barat ini. Dia menjelaskan, laporan Bank Dunia, International Debt Statistics 2021, utang luar negeri Indonesia saat ini menempati urutan ke-6 tertinggi di antara negara-negara berpendapatan menengah dan rendah. Saat ini, utang luar negeri Indonesia lebih dari US$402 miliar, jauh lebih besar dibandingkan utang Argentina, Afrika Selatan, ataupun Thailand. Selain utang luar negeri, tahun ini pemerintah juga telah menerbitkan Global Bond sebesar US$4,3 miliar dengan tenor 30 tahun. Artinya, utang ini akan jatuh tempo pada tahun 2050. "Jadi, jangankan mengurangi beban rakyat dan negara, pemerintahan saat ini justru sedang melarikan sebagian persoalan menjadi beban bagi anak cucu kita nanti. Warisan gunungan utang." Ujar dia. Kedua, lanjut Fadli Zon, adalah beban hukum. Menurut dia, kerusakan tatanan hukum di era pemerintahan Jokowi sangat kasat mata. "Dulu, di periode pertama, kita pernah disuguhi 16 paket kebijakan hukum dan ekonomi." Katanya. Kini, masih kata Fadli, di tahun pertama periode kedua, masyarakat disuguhi omnibus law Cipta Kerja, satu undang-undang sapujagat yang langsung memangkas 79 undang-undang lainnya di berbagai sektor yg berlainan. "Saya melihat pola penerbitan regulasi semacam itu bukanlah bentuk terobosan hukum, melainkan bentuk perusakan hukum. Sejauh yang bisa saya pelajari, omnibus law di negara lain paling banyak mengubah 10 undang-undang." Kata Fadli Zon. Fadli menjelaskan, dia tidak melihat kebijakan omnibus law tersebut sebentuk kebijakan deregulasi. Sama sekali tidak. "Deregulasi adalah kebijakan yang dimaksudkan untuk memberi keleluasan pada mekanisme pasar. Tapi omnibus law yang kemarin disahkan, dan juga paket-paket kebijakan ekonomi yang jumlahnya tak masuk akal dulu, tidak tepat disebut deregulasi." Katanya. "Alih-alih menciptakan kepastian dan stabilitas, omnibus law sudah terbukti hanya akan melahirkan konflik dan instabilitas saja. Dampak kerusakannya sangat besar sekali. Bahkan sejumlah pihak menganjurkan pembangkangan sipil." Sambung dia. Selanjutnya, Fadli Zon melihat pada beban perpecahan. Menurut dia, di periode kedua, pemerintah masih bermain-main dengan sejumlah isu sensitif keagamaan. Menteri Agama, misalnya, berkali-kali membuat umat Islam marah karena sejumlah ucapan dan kebijakannya. "Pancasila, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, melalui draf RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) malah membuat marah banyak orang." Ucap Fadli Zon. Seharusnya kata dia, di periode kedua ini Presiden Jokowi belajar membangun pemerintahan yang berusaha untuk melakukan proses rekonsiliasi, bukan malah kian mempertajam segregasi. "Ironisnya, pemerintah terkesan menggunakan pandemi justru sebagai momen menolong para taipan dan pengusaha, bukan menolong rakyat kecil." Jelas Fadli Zon. (dal/fin).
Admin
Penulis