Nasi Bungkus

Nasi Bungkus

--

William ingin budaya makan pakai tangan pun juga harus diekspor. Kelak harus ke sana. Ini soal budaya. Bukan rendah atau tinggi. 

Rasanya Presiden Jokowi sudah pernah mengajari Xi Jinping makan pakai tangan. Waktu makan bebek khas di Bali. Anda tahu itu? Kalau belum banyak yang tahu rasanya Presiden Jokowi perlu mengajari Xi Jinping sekali lagi makan pakai tangan. Kesempatan itu ada. Yakni saat peresmian kereta cepat Ya-Wan Agustus nanti: makan pakai tangan. Jangan lupa sediakan wijik atau kobokan. 

Kalau perlu sajian nasinya pun nasi bungkus. Sama dengan Deng Xiaoping mengajari Nixon makan mie pakai sumpit. Toh waktu itu Tiongkok masih miskin sekali.

Harga nasi bungkus Sydney itu AUD 19. Setara dengan Rp 200.000. Tapi di Australia AUD 19 itu serasa Rp 7.500 karena UMR di sana AUD 23 per jam kerja.

Budaya nasi bungkus sebenarnya sangat dalam. Yang juga disebut nasi campur. Lalu mulai terkikis oleh yang serba impor. Nasi bungkus di pinggir jalan Gubeng Surabaya itu misalnya luar biasa enaknya. Lauknya hanya tiga: mie beberapa helai, telur seiris, kering tempe, dan sambal. Begitu sederhana. Kalau mau tambah, tinggal ambil satu bungkus lagi.

Jangan-jangan nasi bungkus seperti di Sydney itu yang bisa diinternasionalkan lebih dulu. 

Zaman menteri Mari Elka Pangestu sempat dirumuskan strategi: fokus dulu ke tiga masakan Indonesia: rendang, nasi goreng dan gado-gado. Tiga itu yang didorong habis-habisan secara internasional. Dengan demikian masakan Indonesia cepat dikenal di mana-mana.

Belum terlihat hasilnya. 

Indonesia ini punya terlalu banyak jenis makanan. Terlalu. Banyak. Akibatnya sulit merumuskan strategi internasionalisasi masakan Indonesia.

Vietnam hanya fokus ke pho dan spring roll. Hanya dua jenis itu. Thailand hanya fokus di tomyamkum dan pad thai. Yang lainnya bisa disusulkan belakangan.

Awalnya William memilih rendang sebagai jagoan internasional. Ia sudah melakukan tes di Jerman. Mereka ketagihan. "Yang khas dari rendang adalah rasa yang timbul dari gosongnya santan," ujarnya.

Untuk bisa mencapai rendang setingkat itu membuatnya sangat sulit. Rumit. Lama. Berjam-jam.

Untuk bisa menduniakan rendang, katanya, harus ada revolusi pemikiran: ekspor bumbu rendang.

Memang kita bisa bikin rendang di luar negeri. Bahan bahan bumbunya ada. Bisa dibeli di sana. Tapi rasa tidak akan bisa sama. Laosnya (lengkuas) beda. Bawang merahnya beda. Mereka hanya jual bawang merah yang besar-besar.

Maka bumbu harus dibuat di Indonesia. Diekspor. Santannya boleh beli di sana. Toh dari Indonesia juga. "Barulah rasa rendangnya khas Sumatera Barat," ujar William.

DAPATKAN UPDATE BERITA FIN LAINNYA DI Google News


Afdal Namakule

Tentang Penulis

Sumber:

Berita Terkait

Catch Kill

1 minggu

Inisial B

1 minggu