JAKARTA - Ketua DPD RI LaNyalla Mattaliti menilai, ambang batas calon presiden atau presidential threshold, memiliki banyak mudharat daripada manfaat. LaNyalla menilai butuh amandemen ke-5 untuk memperbaikinya.
LaNyalla menjelaskan, presidential threshold merupakan syarat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik.
"Oleh karena itu kita perlu koreksi lagi terkait hal itu. DPD RI pun sudah mempersiapkan kajian untuk amandemen konstitusi ke-5 agar ada keadilan dan ada kesempatan yang sama bagi siapa saja untuk menjadi pemimpin nasional," ujarnya, Sabtu (29/5).
LaNyalla menjelaskan, UUD hasil Amandemen 2002 telah memberikan mandat partai politik sebagai satu-satunya saluran untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tata caranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Dalam UU ditegaskan untuk mengusung pasangan Capres-Cawapres, Parpol atau gabungan Parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Partai yang tidak menggenapi persentase ini harus berkoalisi," lanjutnya.
Argumentasi mengenai presidential threshold disebut-sebut untuk memperkuat partai politik. Selain itu juga agar presiden dan wakil presiden terpilih punya kekuatan politik di parlemen.
Dengan begitu, presidential threshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Sebab parlemen yang kuat dikhawatirkan akan melemahkan sistem presidensial.
"Sepertinya masuk akal. Tapi bila dicermati konteksnya jelas bukan soal kuat atau lemahnya eksekutif versus legislatif, tetapi keseimbangan peran. Menguatkan sistem presidensial tidak berbanding lurus dengan penguasaan eksekutif di parlemen. Koalisi penguasa yang gemuk dan minim oposisi mengundang penyalahgunaan kekuasaan karena sulitnya check and balance," lanjutnya.
Artinya, menurut LaNyalla, presidential threshold lebih banyak mudharatnya. Pertama, meski di atas kertas bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon, dalam praktiknya tidak seperti itu.
"Dalam pemilu yang lalu-lalu hanya bisa memunculkan dua pasang calon. Dampaknya, pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Polarisasi ini tidak juga reda meski elit telah rekonsiliasi," ujarnya.
Presidential threshold dinilai LaNyalla juga mengerdilkan potensi bangsa. Banyak calon pemimpin kompeten yang tidak bisa dicalonkan karena ada aturan main seperti itu.
"Ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Banyak pemilih yang memilih golput karena calon mereka tidak mendapat tiket kontestasi," lanjutnya.
Lalu yang keempat, kata LaNyalla, adalah partai kecil cenderung tidak berdaya di hadapan partai besar. Mereka ikut saja tentang keputusan calon yang akan diusung bersama.
"Inilah yang saya katakan, presidential threshold bukan saja menghalangi
putra-putri terbaik bangsa untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih dan memilih, tetapi juga menghalangi kader partai politik, hanya karena partainya tidak memiliki suara yang mencukupi untuk mengusung kader terbaiknya," ujar LaNyalla.
Karena itu, LaNyalla berharap dengan adanya Amandemen Konstituai ke-5 putra-putri terbaik yang non-partisan, bisa dipilih untuk dicalonkan sebagai presiden. (khf/fin)