Safari Djauhari

Rabu 19-04-2023,06:00 WIB
Reporter : Afdal Namakule
Editor : Afdal Namakule

Beijing sudah kembali macet. Pekan lalu aturan pakai masker masih berlaku di kereta bawah tanahnya. Padahal di Shanghai, seperti ketika saya naik dari Hongjiao ke hotel saya di Xin Tian Di, sudah banyak yang lepas masker.

Senin kemarin Beijing juga berubah. Ketika saya kembali dari Nanjing itu, aturan wajib masker sudah dicabut. Hanya saja, saya lihat, baru 20 persen yang ''berani'' lepas masker. Padahal tidak ditegur lagi oleh petugas. 

Saya pun tidak pakai masker. Lalu saya duduk di satu kursi kosong. Kanan kiri saya masih pakai masker. 

Begitu saya duduk, yang sebelah kanan saya berdiri. Pilih berdiri daripada di sebelah saya. Saya tahu diri. Maka saya ambil masker. Dan saya pakai. Saya ingin menjaga perasaan penumpang sebelah saya. Maka yang mendadak berdiri itu duduk kembali di sebelah saya.

Khusus untuk buka puasa di  Kedubes ini saya pakai mobil.  Muncul perasaan takut kena macet saat melewati kawasan CCTV. Selalu macet di situ. Hari apa saja. Jam berapa saja. Maka saya berangkat satu jam sebelum jadwal.

Ternyata saya harus minta maaf karena tiba setengah jam lebih awal dari janji. Maksud saya agar penjaga pintu di depan diberi info sehingga mobil bisa masuk. 

Ternyata pak Wakil Dubes Dino R. Kusnadi sudah di teras. Bersama Raden Fitri Saptaji, atase imigrasi. Juga beberapa staf Kedubes. Saya lihat ada gamelan Jawa di lobi ini. Juga seperangkat angklung Sunda. Di ruang berikutnya khusus untuk display produk-produk unggulan Indonesia: ada berbagai macam kopi, sarang burung, kerajinan, dan tentu batik.

Ruang-ruang di Kedubes ini terlihat lebih bersih dan tertata. Kelihatannya baru selesai direnovasi.

Kami pun punya waktu lebih setengah jam untuk ngobrol. Saya tertarik pada sarang burung. Pemerintahan Jokowi saya anggap berhasil menerobos barikade larangan impor sarang burung dari Indonesia. Kini sudah ada 36 eksporter yang bisa kirim langsung ke Tiongkok.

Anda sudah tahu: sarang burung Indonesia kena blacklist. Lama sekali. Salah kita sendiri. Pedagang kita rakus. Untuk membuat sarang burung berwarna putih-bening digunakan kimia yang dilarang.

Begitu tidak bisa masuk Tiongkok, harga pun nyungsep. Pedagang yang baik ikut jadi korban kerakusan itu. Mereka terpaksa ekspor lewat Malaysia. Diakui sebagai produk Malaysia.

Perjuangan memasukkan sarang burung kembali ke Tiongkok memakan waktu lebih dari 10 tahun. Sebenarnya tahun 2013 Presiden SBY sudah berhasil menyepakati protokol baru dengan Perdana Menteri Wen Jiaobao. Tapi pelaksanaannya perlu banyak terobosan.

Akhirnya berhasil juga. Awalnya hanya 12 pedagang yang dapat izin. Lalu bikin kecemburuan. Ratusan produsen sarang burung merasa dianaktirikan. Lalu membentuk asosiasi tandingan. 

Memang tidak mudah mengembalikan nama yang telanjur rusak. Tapi proses penambahan kuota terus dilakukan. Jadi 16. Naik lagi jadi 24. Saya pun kaget-kaget-senang  ketika kini sudah jadi 36. 

Tentu masih banyak lagi yang antre untuk bersedia diteliti: apakah proses produksinya sudah sesuai dengan aturan bahan mentah makanan.

Kategori :

Terkait

Selasa 14-05-2024,06:00 WIB

Lia Camino

Minggu 12-05-2024,06:00 WIB

James Today

Sabtu 11-05-2024,06:00 WIB

James Camino

Kamis 09-05-2024,06:00 WIB

Seragam Baru

Rabu 08-05-2024,06:00 WIB

Timah Kolektor