Penegak Hukum Kejagung, KPK, Polri telah menangani beberapa kasus korupsi bansos, yang membuktikan bahwa penindakan hukum memang bisa dilakukan, namun belum masif dan menyeluruh. Sejak tahun 2020 ada 131 lebih kasus penyelewengan bansos yang ditangani, menunjukkan skala masalah yang luas.
UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, seharusnya menjadi dasar penindakan yang kuat.
3. Eksploitasi Politik dan Jaring-jaring Nepotisme
Bantuan sosial diduga seringkali dijadikan alat politik oleh oknum pejabat. Daftar penerima bansos disusun berdasarkan kedekatan politik, bukan berdasarkan kelayakan. Bansos telah menjadi komoditas politik yang diperjualbelikan. Para politisi terindikasi menjual mimpi kepada rakyat miskin dengan iming-iming bansos, padahal bansos adalah hak rakyat yang seharusnya tidak perlu dipertukarkan dengan suara. Laporan Bawaslu mencatat adanya dugaan politik uang melalui penyaluran bansos.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan PKPU yang melarang politik uang seharusnya ditegakkan dengan tegas, namun penegakannya masih lemah, terutama saat momentum pemilu nasional dan pilkada.
4. Kelemahan Sistem Penyaluran Bansos
Penyaluran bansos yang masih bantuan tunai membuka celah untuk pemotongan, manipulasi jumlah, dan bahkan penerima yang fiktif. Mengapa kita masih mempertahankan bantuan yang rentan korupsi tanpa perbaikan sistem ? Jawabannya adalah, karena sistem ini menguntungkan para mafia bansos yang bisa bermain di celah-celah tersebut.
Meskipun Perpres Nomor 166 Tahun 2014 tentang Sistem Bantuan Sosial mengamanatkan penyaluran non-tunai, implementasinya tidak merata. Penyaluran bansos tunai masih sering terjadi di banyak daerah, membuka celah untuk praktik pemotongan oleh oknum. Sebuah studi kasus menunjukkan bagaimana oknum pendamping bansos di daerah memanfaatkan minimnya pengetahuan penerima dengan menahan Kartu Keluarga Sejahtera dan memotong nominal bantuan.
5. Keterbatasan Partisipasi Publik dan Transparansi
Informasi mengenai data penerima, jumlah bansos, dan mekanisme penyaluran tidak transparan dan tidak mudah diakses oleh publik. Tanpa keterlibatan publik yang aktif, pengawasan akan selalu lemah. Oknum Pemerintah sengaja menciptakan ruang yang gelap agar kecurangan bisa terus berjalan tanpa terdeteksi.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah payung hukumnya, namun data penerima bansos seringkali dipersulit aksesnya dengan dalih kerahasiaan, meskipun lembaga masyarakat mencatat adanya 239 lebih temuan dan aduan warga terkait pemotongan dan pungutan liar bansos.
6. Ketiadaan Sanksi Sosial dan Moral