Opini . 14/08/2025, 06:26 WIB
UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional seharusnya membuat perencanaan bersifat teknokratis, namun seringkali terpengaruh politik. Dana aspirasi, misalnya, lebih mencerminkan kekuatan politik di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI daripada prioritas pembangunan nasional yang merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Ini membuat anggaran tidak selalu tepat sasaran untuk proyek-proyek strategis. Untuk menyelaraskan antara perencanaan dan penganggaran, ada juga PP Nomor 17 Tahun 2017.
4. Subsidi Tidak Tepat Sasaran
Pemerintah mengeluarkan ratusan triliun rupiah untuk subsidi energi. Pada tahun 2023, subsidi energi mencapai Rp 159,6 triliun, bahkan melebihi target. Berdasarkan studi Bank Dunia dan Kemenkeu, sebagian besar subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) justru dinikmati oleh orang kaya. Ini adalah kebijakan yang diawasi oleh Banggar DPR RI, sesuai UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, dan juga disokong oleh UU Nomor 22 Tahun 2001.
5. Belanja Birokrasi yang Membengkak
Belanja operasional cenderung terus membesar. Dalam beberapa tahun terakhir, belanja barang seringkali di atas Rp 400 triliun. Di tahun 2024, angkanya mencapai Rp 517,6 triliun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 19 Tahun 2023. Uang sebesar ini banyak dipakai untuk rapat, perjalanan dinas, dan biaya lain yang sering lebih besar dari belanja modal yang seharusnya jadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatur pengadaan barang dan jasa, yang merupakan bagian besar dari belanja ini, ada Perpres Nomor 12 Tahun 2021 Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
6. Utang yang Kurang Produktif
Batas utang 60% dari PDB dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 adalah batasnya. Rasio utang Pemerintah kita stabil di sekitar 39-40% dari PDB. Bank Dunia memprediksi rasio utang Indonesia bisa mencapai 39,6%. Banyak proyek yang dibiayai utang memiliki ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang tinggi. Di tahun 2021, Bappenas memperkirakan ICOR Indonesia mencapai 8,16, artinya investasi kita belum efisien dalam menghasilkan pertumbuhan. Mekanisme penerbitan dan pengelolaan utang ini diatur lebih detail melalui PP Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penerbitan dan Pengelolaan Surat Berharga Negara.
7. Siklus Politik Menghambat Jangka Panjang
Pasal 23 UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 secara tidak langsung membuat kita berpikir jangka pendek. Belum banyak proyek riset dan teknologi fundamental yang mendapat jaminan pendanaan penuh selama 10 tahun dari Pemerintah dan Banggar DPR RI. Padahal, proyek seperti ini sangat krusial untuk mendorong pertumbuhan PDB potensial. Regulasi yang mendasari penelitian dan pengembangan di Indonesia juga diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
8. Data Belum Terintegrasi Penuh
Walaupun ada Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, data kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) sering berbeda dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Akibatnya, program bantuan sosial menjadi kurang tepat sasaran dan belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan, yang masih di sekitar 9%. Tentu saja, dalam konteks ini, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga sangat relevan untuk memastikan data bisa diakses dengan mudah dan transparan.
9. Anggaran Pemerintah Pusat-Daerah Belum Optimal
UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) belum cukup kuat mengawal dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang nilainya lebih dari Rp 850 triliun. Info sisa anggaran (SiLPA) di kas Pemerintah Daerah mencapai Rp 245 triliun di tahun 2023, menunjukkan daerah kesulitan membelanjakan uangnya dengan efektif untuk proyek-proyek produktif. Mengenai pengelolaan dana desa, dasar hukumnya juga diperkuat oleh UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
10. BUMN Menanggung Beban Kompensasi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seringkali menghadapi masalah kompensasi. Contohnya, Pertamina dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus menanggung beban kompensasi energi dari Pemerintah. Pada tahun 2024, tagihan kompensasi energi mereka mencapai Rp 53,8 triliun, tapi pembayarannya sering terlambat. Ini mengganggu keuangan dan kemampuan investasi BUMN tersebut yang seharusnya bisa jadi motor penggerak ekonomi, padahal tujuan BUMN diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Selain UU BUMN, ada juga PP Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas PP Nomor 45 Tahun 2005.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com