Kisah Nyata di Gunung Lawu: Riuh Pasar Setan yang Tak Pernah Terlihat

fin.co.id - 11/08/2025, 12:01 WIB

Kisah Nyata di Gunung Lawu: Riuh Pasar Setan yang Tak Pernah Terlihat

Pasar Setan Gunung Lawu, Saat Suara Misterius Menyapa di Tengah Kabut. Image (Istimewa).

fin.co.id - Gunung Lawu selalu menjadi magnet bagi para pendaki, bukan hanya karena panorama alamnya yang memukau, tetapi juga karena kisah mistis yang mengiringinya. Salah satu cerita yang tak lekang oleh waktu adalah legenda Pasar Setan sebuah pasar tak kasat mata yang dipercaya berada di jalur pendakian, tempat makhluk gaib berdagang di dunia lain.

Bagi Rian, pendaki yang telah menjelajahi berbagai gunung di Jawa, kisah ini awalnya hanya terdengar seperti bumbu perjalanan. Namun, pendakiannya beberapa tahun lalu bersama dua sahabatnya, Gilang dan Tika, via jalur Candi Cetho, mengubah segalanya.

Awal Perjalanan yang Tenang

Pendakian dimulai dengan suasana cerah dan pemandangan indah. Meski begitu, sejak pos awal, kisah tentang Pasar Setan sudah jadi topik hangat di antara para pendaki. Menurut cerita, pasar gaib ini dapat menarik pendaki yang lengah, dan siapa pun yang menjawab panggilan dari “penjual” tak kasat mata, akan selamanya tersesat.

“Paling juga halusinasi karena kurang tidur,” seloroh Gilang, menertawakan kisah itu.

Malam di Pos 5

Semua berjalan lancar hingga malam tiba. Mereka mendirikan tenda di sekitar pos 5. Udara dingin semakin menusuk, kabut turun pekat, jarak pandang hanya beberapa meter. Saat asyik berbincang, Tika mendadak terdiam.

“Kalian dengar sesuatu?” tanyanya lirih.

Awalnya, hanya terdengar suara jangkrik dan hembusan angin. Namun, perlahan muncul suara riuh layaknya pasar — obrolan, tawa, hingga teriakan tawar-menawar, terdengar semakin jelas dan dekat.

“Ini aneh… tadi nggak ada tenda lain, kan?” bisik Tika, membuat suasana semakin tegang.

Suara-Suara dari Kabut

Rian membuka sedikit resleting tenda. Kabut tebal menyelimuti segalanya, tapi suara itu terdengar seolah mengelilingi mereka. Bau kemenyan dan wangi bunga menyusup ke hidung. Tak ada sosok yang terlihat, namun hawa dingin terasa menempel di kulit.

Gilang yang biasanya berani, kini menggenggam lengan Rian erat. “Tutup tendanya, Ri. Jangan keluar,” ucapnya bergetar.

Mereka kembali menutup rapat tenda. Di luar, langkah kaki berat terdengar berputar mengitari tenda, disusul tawa melengking seorang wanita yang membuat bulu kuduk berdiri.

Panggilan yang Menggoda

Dalam ketegangan, suara lembut memanggil, “Riaaann…”

Lalu terdengar lagi, “Gilaang… beli daganganku…” dan “Tikaa… mau bunga ini?”

Mereka bertiga hanya menahan napas, berusaha tak bersuara. Rian teringat pesan para pendaki senior: jangan pernah menjawab.

Suara-suara itu terus terdengar hingga perlahan memudar saat cahaya fajar mulai muncul. Ketika mereka keluar tenda, kabut menipis, dan suasana kembali sunyi. Tak ada jejak kaki, tak ada tenda lain, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Pulang dengan Rasa Syukur

Tanpa banyak bicara, mereka segera membereskan perlengkapan dan turun gunung. Rian tahu, malam itu mereka telah berhadapan langsung dengan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa dijelaskan.

Aries Setianto
Penulis