Sebagai garda terdepan perlindungan Warga Negara Indonesia di luar negeri, Kemenlu memiliki peran penting sesuai amanat Pasal 42 UU PPMI. Namun, sering kali ada jurang antara amanat hukum dan realitas di lapangan. Peran diplomasi kita cenderung lebih fokus pada hubungan bilateral dan kepentingan ekonomi, bukan pada perlindungan hak-hak WNI. Migrant CARE 2022 menyebutkan bahwa hanya kurang dari 5% pengaduan kasus di perwakilan diplomatik di Timur Tengah dan daerah lain yang dapat dituntaskan.
Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan dan evaluasi kinerja para diplomat terkait penanganan kasus PMI. Para diplomat kita sering kali tidak memiliki sumber daya, pelatihan, atau bahkan kemauan yang memadai untuk menangani kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi, membuat pengaduan PMI dianggap urusan kecil yang kurang diprioritaskan.
BP2MI, Hambatan yang Belum Terurai
Sebagai garda terdepan, BP2MI memiliki tugas dan tanggung jawab besar sesuai Pasal 46 dan 48 UU PPMI. Namun, data pelayanan pengaduan BP2MI 2023 mencatat lebih dari 2000 pengaduan kasus kekerasan belum terselesaikan. Selain itu, temuan Pusat Studi Migrasi Indonesia (PSMI) 2023 menyoroti lamanya proses aduan yang bisa memakan waktu 1-2 tahun, menunjukkan birokrasi BP2MI yang masih lamban dan tidak efisien. Katanya menjadi garda terdepan, tapi BP2MI sering kali terperangkap dalam tumpukan berkas.
Kita memiliki lebih dari 500 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang terdaftar. Namun, sekitar 1% di antaranya yang izinnya dicabut karena pelanggaran berat dalam lima tahun terakhir. Pengawasan yang lebih kuat dan tegas, sesuai dengan Pasal 259 UU PPMI tentang pidana bagi yang menempatkan PMI secara ilegal, adalah kunci untuk mencegah eksploitasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan BP2MI. Apakah ada permainan di balik layar, ataukah sistem pengawasannya yang tumpul dan tidak memiliki taring?
Anggaran yang Tidak Memadai, Masalah Klasik
Masalah mendasar lainnya adalah anggaran BP2MI yang hanya kurang dari 0,5% dari total devisa PMI. Angka ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya serius mengalokasikan sumber daya yang proporsional untuk perlindungan PMI. Bagaimana mungkin sebuah Kementerian atau Badan ini dengan tugas sebesar itu bisa bekerja optimal dengan anggaran yang begitu minim? Ini adalah refleksi kegagalan sistem dari Pemerintah yang seharusnya lebih melindungi PMI.
Menuju Perlindungan yang Lebih Kuat
Kita tidak bisa hanya memperbaiki sedikit demi sedikit. Kita perlu berpikir besar dan bertindak berani. Berikut ini beberapa langkah solusi yang dapat dipertimbangkan untuk membangun sistem perlindungan yang benar-benar kokoh:
1. Hentikan secara bertahap pengiriman PMI sektor informal. Menurut laporan ILO 2023, menyumbang lebih dari 70% kasus kekerasan, pelecehan, dan penahanan gaji. Penghentian ini harus dilakukan secara terencana dengan menciptakan mekanisme transisi yang masif, seperti program pelatihan bersubsidi untuk mengubah keterampilan PMI ke sektor formal yang memiliki perlindungan hukum lebih kuat.
2. Nasionalisasi seluruh aset dan operasional P3MI swasta. Dengan lebih dari 500 P3MI swasta yang beroperasi dengan berbagai skandal, nasionalisasi adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan motif keuntungan yang menjadi akar dari eksploitasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan menyerahkan ke BUMN yang berfokus pada penempatan PMI, diikuti dengan tata kelola yang efisien, transparan, dan diawasi oleh audit independen.