fin.co.id - Jakarta kembali diguncang dengan aksi teror yang menargetkan jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana atau Cica. Setelah insiden pengiriman kepala babi yang terjadi pada Rabu, 19 Maret 2025, kini kantor Tempo menerima kiriman bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Kejadian ini menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak, terutama Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum), yang menilai peristiwa ini sebagai ancaman serius terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco Sulaksono, mengecam aksi teror yang semakin mengkhawatirkan ini. Ia menegaskan bahwa serangan semacam ini bukan hanya intimidasi terhadap individu, tetapi juga upaya membungkam kebebasan pers.
“Aksi teror yang berulang ini jelas-jelas merupakan upaya membungkam kerja jurnalistik. Padahal, jurnalis memiliki hak untuk bekerja tanpa ancaman dan intimidasi,” kata Ponco dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu, 22 Maret 2025.
Ponco juga menyayangkan lambannya respons aparat kepolisian dalam menangani kasus ini. Teror yang tidak segera diusut tuntas berpotensi menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Kami meminta aparat bergerak cepat. Jangan biarkan teror semacam ini terus berulang,” tegasnya.
Menurutnya, serangkaian aksi teror ini menjadi indikasi kuat bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis dalam hal kebebasan pers.
“Aksi teror yang berulang ini mengindikasikan bahwa Indonesia darurat kebebasan pers,” tambahnya.
Baca Juga
Kepala Departemen Advokasi Iwakum, Faisal Aristama, turut mengkritik pernyataan Kepala Kantor Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, yang dinilai kurang tegas dalam menyikapi teror kepala babi terhadap jurnalis Tempo. Menurutnya, sikap permisif terhadap teror semacam ini justru membuka peluang bagi kejadian serupa di masa depan.
“Akhirnya, teror kini kembali berulang. Kalau kemarin kepala babi, sekarang bangkai tikus dengan kepala terpenggal. Lantas, ke depan apa lagi? Kami tidak ingin ini terjadi lagi. Sudah cukup,” ujarnya.
Ia pun mendesak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap pelaku teror.
“Proses hukum terhadap pelaku teror sangat penting untuk memutus mata rantai kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Ini harus dihentikan,” tegasnya.
Faisal juga mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap ancaman terhadap kebebasan pers. Ia menekankan pentingnya jaminan keamanan bagi para jurnalis yang bekerja demi kepentingan publik.
“Teror tidak boleh dijadikan alat untuk membungkam suara kebenaran,” pungkasnya.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius. Jika intimidasi terhadap jurnalis dibiarkan, maka bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang independen dan kredibel. (*)