Oleh: DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.H., M.Mar.
Pengamat Maritim Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC
Tantangan dan Peluang Sektor Maritim di Indonesia
Indonesia adalah Negara maritim yang berbentuk kepulauan (archipelago state) karena hampir dua pertiga luas wilayah Indonesia adalah lautan. Secara geografis Indonesia membentang dari 60 LU sampai 110 LS dan 920 sampai 1420 BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang ditaburi oleh kurang lebih 17.504 pulau-pulau besar dan kecil yang membujur kurang lebih 5000km sepanjang khatulistiwa. Luas daratan Indonesia mencapai 2,01 juta km2 , dan luas perairan 5,8 juta km2. Panjang garis pantai kepulauan Indonesia 99.093 km yang membuatnya menjadi negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan” untuk dapat diterima di Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) III, sehingga dalam “The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), tahun 1982” dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan, konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai Negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki potensi besar dalam sektor maritim yang mencakup perikanan, pelayaran, pertambangan, serta pembangunan infrastruktur pesisir. Potensi ekonomi yang besar ini sering kali terganggu oleh maraknya praktik tindak pidana korupsi (tipikor) yang terjadi di berbagai sektor, termasuk sektor maritim. Korupsi di sektor maritim mencakup berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan, suap dalam perizinan, manipulasi anggaran proyek maritim, serta penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan sumber daya alam laut dan pesisir. Praktik-praktik ini tidak hanya merugikan negara dari segi finansial, tetapi juga menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan merusak ekosistem laut yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Tindak pidana korupsi di sektor maritim dapat ditemukan dalam beberapa bidang, salah satunya adalah pada proses pemberian izin untuk reklamasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayah pesisir. Maraknya proyek reklamasi yang tidak sesuai dengan regulasi dan dilakukan tanpa pengawasan yang ketat membuka peluang bagi para pelaku korupsi untuk memanfaatkan celah hukum. Praktik korupsi ini tidak hanya merugikan negara dalam hal pendapatan negara, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan yang berada di sekitar proyek-proyek tersebut. Oleh karena itu, keberadaan lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberantas korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini.
Baca Juga
Korupsi yang terjadi di sektor maritim Indonesia sering kali melibatkan manipulasi dokumen, suap untuk mempercepat proses perizinan, dan pengalokasian anggaran yang tidak transparan dalam proyek-proyek besar di bidang maritim. Sektor ini memiliki risiko tinggi terhadap tindak pidana korupsi karena melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, perusahaan swasta, dan lembaga terkait lainnya. Selain itu, kurangnya pengawasan terhadap kegiatan maritim juga memperburuk masalah ini. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi dalam sektor maritim perlu diperkuat dengan adanya regulasi yang lebih ketat dan lembaga yang lebih efisien dalam melakukan pengawasan.
Isu Pagar Laut di Tangerang dan Wilayah Indonesia Lainnya
Pagar laut yang ditemukan di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, telah menjadi sorotan publik dan media dalam beberapa minggu terakhir. Pagar tersebut berupa struktur bambu yang membentang sepanjang lebih dari 30 kilometer, melintasi 16 desa di enam kecamatan. Keberadaannya pertama kali terungkap pada awal Januari 2025 dan segera menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan temuan dan investigasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), diketahui bahwa di atas area pagar laut tersebut telah diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama beberapa entitas, termasuk PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Penerbitan sertifikat di wilayah perairan laut ini dianggap melanggar ketentuan yang berlaku, karena wilayah tersebut termasuk dalam kategori tanah negara dan tidak dapat diperuntukkan bagi kepemilikan pribadi.
Selain itu, pemasangan pagar laut tersebut diduga melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil : Undang-undang ini mengatur bahwa pemanfaatan ruang laut harus dilakukan dengan memperhatikan kelestarian fungsi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemasangan pagar laut yang tidak sesuai prosedur dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan ini.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pemasangan pagar laut yang tidak memiliki izin dan tidak melalui proses analisis dampak lingkungan dapat melanggar ketentuan dalam undang-undang ini, yang mewajibkan setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan untuk memiliki izin lingkungan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak atas Tanah: Peraturan ini mengatur bahwa hak atas tanah tidak dapat diberikan di atas perairan laut, karena perairan laut merupakan wilayah yang dikuasai oleh negara dan tidak dapat diperuntukkan bagi kepemilikan pribadi.
Menanggapi temuan ini, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah melakukan peninjauan dan menyatakan bahwa penerbitan sertifikat HGB di wilayah perairan laut tersebut melanggar ketentuan yang berlaku. Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa pihaknya akan membatalkan 263 HGB yang diterbitkan di wilayah pagar laut tersebut.