Squid Game Terinspirasi Kisah Nyata di Korea Selatan? Viral di TikTok, Begini Ceritanya

fin.co.id - 08/01/2025, 14:25 WIB

Squid Game Terinspirasi Kisah Nyata di Korea Selatan? Viral di TikTok, Begini Ceritanya

Squid Game Terinspirasi Kisah Nyata di Korea Selatan? Viral di TikTok, Begini Ceritanya

fin.co.id- Viral di TikTok! Banyak netizen kini heboh setelah sebuah podcast mengungkap bahwa Squid Game—serial Netflix yang sempat fenomenal—ternyata terinspirasi dari kisah nyata yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 1986, yang dikenal dengan nama Brothers' Home.

Konsep ini pertama kali dibahas dalam podcast Jumpers Jump yang diunggah di YouTube. Setelah itu, cuplikan video mengenai topik ini menjadi viral, termasuk di TikTok melalui akun @soupclipsz, yang sudah ditonton lebih dari 3,2 juta kali.

"Squid Game sebenarnya terinspirasi dari kisah nyata dan ini disensor di mana-mana. Hanya ada satu orang yang membahas soal ini, jadi begitulah," ujar Gavin Ruta dalam podcast tersebut. Ia merujuk pada 'Brother's Home', yang menjadi sumber inspirasi dari drama ikonik tersebut.

Kisah Nyata yang Mengejutkan: Penculikan dan Penyiksaan Anak-anak di Tahun 1980-an

Melansir dari BBC, kejadian tragis ini bermula pada tahun 1984, saat seorang anak kecil bernama Han Jong-sun berusia 8 tahun pergi ke kota bersama ayah dan saudara perempuannya. Ayah mereka, yang sibuk, meninggalkan mereka di kantor polisi untuk sementara waktu. Namun, tak lama setelah itu, anak-anak ini diculik dan dipaksa naik ke dalam sebuah bus.

"Sebuah bus berhenti di depan kantor polisi dan kami dipaksa masuk ke dalam bus. Kami tidak tahu ke mana kami dibawa. 'Ayah meminta kami tunggu di sini! Ayah akan datang!' kami menangis, tapi mereka mulai memukuli kami," kenang Han, yang baru mengungkapkan peristiwa tersebut lebih dari 30 tahun kemudian.

Ke Mana Mereka Dibawa?

Tanpa diketahui oleh Han, bus tersebut membawa mereka ke Hyungje Bokjiwon, sebuah fasilitas swasta yang seharusnya berfungsi sebagai pusat pembinaan masyarakat. Namun, kenyataannya jauh lebih mengerikan. Menurut banyak kesaksian dari korban yang selamat, tempat tersebut sebenarnya merupakan pusat penahanan brutal, yang menyiksa ribuan orang sepanjang tahun 1970-an hingga 1980-an.

Korban yang berhasil keluar dari sana menceritakan bahwa mereka dipaksa bekerja sebagai budak di sektor konstruksi, pertanian, dan pabrik. Penyiksaan dan perbudakan terjadi setiap hari, bahkan ratusan orang meninggal dalam kondisi yang sangat kejam.

Han dan saudara perempuannya dipaksa tinggal di sana selama lebih dari tiga tahun dalam kondisi yang sangat mencekam, yang mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Anak-anak yang ditahan di sana tidak hanya kehilangan masa kecil mereka, tetapi dipaksa untuk bekerja layaknya orang dewasa. Mereka diperlakukan lebih buruk lagi dengan tidak diberikan akses yang layak untuk mandi, makanan yang sangat buruk, dan kondisi tempat tidur yang penuh sesak.

Keadaan yang Mengerikan di Hyungje Bokjiwon

Salah seorang korban, Choi Seung-woo, yang ditahan saat berusia 13 tahun, menceritakan pengalamannya: "Kami makan ikan busuk dan nasi jelai yang bau setiap hari. Hampir semua penghuni kekurangan gizi," ungkapnya. "Empat orang tidur secara zig-zag di tempat tidur kecil. Pemerkosaan terjadi setiap malam di sudut asrama," lanjutnya.

Para korban yang ditahan mengenakan pakaian seragam biru dan sepatu karet, serta hanya diberi sepotong celana dalam nilon. Kehidupan mereka benar-benar terisolasi dan penuh penderitaan. Kejamnya perlakuan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang seharusnya menjalani masa kecil yang bahagia.

Akhir Tragis dan Penutupan Fasilitas

Pada tahun 1986, setelah banyaknya laporan yang diajukan oleh orang tua korban, pusat tersebut akhirnya ditutup. Park In-guen, yang mengelola Hyungje Bokjiwon, ditangkap. Namun, alasan di balik penculikan ini baru terungkap setelah penyelidikan lebih lanjut. Rumor yang beredar mengatakan bahwa pada saat itu, negara tengah sibuk membangun citra menjelang Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Orang-orang yang dianggap 'merusak pemandangan' di jalanan kota—seperti anak-anak pengemis atau yatim piatu—diculik dan dipaksa bekerja untuk proyek-proyek besar tersebut.

Ari Nur Cahyo
Penulis