fin.co.id - Keputusan pemerintah untuk memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen kembali menuai kritik tajam dari para ekonom dan pengamat.
Alih-alih fokus pada barang-barang mewah yang biasanya menjadi objek pajak tinggi, kebijakan ini justru menyasar barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Sejumlah komoditas penting seperti tepung terigu, minyak curah, gula industri, hingga berbagai bahan pokok lainnya kini dikenakan PPN, menambah beban masyarakat yang sudah terjepit ekonomi.
Dalam pengumumannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebutkan bahwa PPN 12 persen akan dikecualikan untuk barang-barang yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang, seperti beras, telur, daging, ikan, sayur, serta berbagai jasa pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Namun, kenyataannya, sejumlah bahan pokok yang justru esensial untuk kehidupan sehari-hari seperti tepung terigu dan minyak curah tetap dikenakan tarif PPN ini.
Ketidakkonsistenan dan Potensi Ketidakadilan Sosial
Kebijakan ini telah memunculkan ketidakkonsistenan yang dipertanyakan oleh ekonom, terutama Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Menurut Achmad, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakadilan sosial. Produk-produk yang memiliki rantai distribusi panjang—seperti tepung terigu, gula industri, dan minyak—justru mengalami kenaikan harga yang akan membebani konsumen kelas bawah.
Baca Juga
Walaupun pemerintah menjanjikan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), tetapi mekanisme tersebut dapat menciptakan kebocoran dan ketidaktepatan sasaran yang merugikan banyak pihak.
“Pemerintah berusaha memberikan insentif bagi barang-barang yang seharusnya tidak perlu dikenakan PPN, tapi akhirnya yang terkena dampaknya tetaplah konsumen biasa yang membeli barang kebutuhan pokok. Harga barang yang sudah dipengaruhi oleh kenaikan PPN tetap akan naik, dan ini jelas membebani konsumen, terutama yang kurang mampu,” ujar Achmad kepada Disway pada Rabu, 18 Desember 2024.
Mengapa Kebijakan Ini Membingungkan?
Lebih lanjut, kebijakan ini tampaknya bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang sering dijadikan dasar oleh pemerintah dalam banyak kebijakan.
Pada saat yang sama, pemerintah juga mengklaim bahwa kebijakan pajak akan berlandaskan pada asas keadilan, di mana yang mampu membayar lebih banyak, sementara yang rentan akan dilindungi.
Ironisnya, PPN 12 persen justru dikenakan pada barang yang berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok, tanpa memberikan perlindungan nyata bagi golongan yang paling membutuhkan.
Keputusan untuk tetap mengenakan PPN pada barang-barang ini bahkan memunculkan pertanyaan besar: Apakah kebijakan ini benar-benar dibuat untuk mendukung rakyat yang kesulitan, atau justru untuk mengisi pundi-pundi negara dengan mengorbankan rakyat kecil?
Sebuah Ironi dalam Pemerintah yang Mengklaim Gotong Royong
Kebijakan ini juga menimbulkan ironi besar. Pemerintah yang sering mengedepankan prinsip gotong royong dan mengklaim peduli terhadap kelompok rentan, kini malah mendorong kebijakan yang jelas menguntungkan sektor-sektor yang tidak langsung berhubungan dengan kesejahteraan rakyat banyak.
Di tengah masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kebijakan ini justru bisa memperburuk keadaan banyak keluarga di Indonesia yang sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.