fin.co.id -- Pakar sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Andreas Budi Widyanta mengkritik keras Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas penggantian istilah pinjaman online (pinjol) menjadi pinjaman daring (pindar) untuk layanan pendanaan bersama berbasis teknologi (LPBBTI) yang legal atau berizin.
Penggantian istilah ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat mengenali penyelenggara fintech peer-to-peer yang telah mengantongi izin dari OJK.
Selain itu juga mengubah stigma negatif pinjol yang sering dianggap sebagai penyebab berbagai masalah sosial di masyarakat.
Namun demikian, menurut Andreas Budi Widyanta perubahan nama pinjol menjadi pindar merupakan kesesatan berfikir.
"OJK ini menjadi sebuah institusi badut yang sangat lucu. Jadi ini sebetulnya apa yang dilakukan oleh OJK itu mengobati sakit kanker dengan meminum panadol. Jadi nggak ada hubungannya," ungkap Adreas kepada Disway jaringan fin.co.id, 17 Desember 2024.
Menurutnya, mengubah nama tidak ada hubungannya dengan pemecahan masalah.
"OJK melakukan sesat pikir. Kesesatan berpikir OJK adalah tidak ada hubungannya merubah nama itu dengan bahwa itu akan kemudian mensolusikan problem pinjol."
Baca Juga
"Saya usul, kenapa OJK tidak membuat singkatan baru. Bukan pindar, kenapa bukan piring? Kan sama-sama pinjaman karing. Bodoh menamainya kok pindar. Sulit diingat orang. Kalau piring lebih mudah," cecarnya.
Ia pun menyebut OJK hanya dipenuhi oleh orang-orang yang berpikir instrumental, dangkal, dan banal.
"Tidak pernah serius menangani persoalan bangsa ini, di mana ada banyak masyarakat kecil kita yang hari ini terjerat pinjol tadi. Mengubah nama tidak akan mengubah apapun dan tidak akan membantu mereka yang terjerat pinjol," tandasnya.
"Orang-orang dibayar dengan uang rakyat, tetapi mereka ini berpikirnya selalu yang gampangan. Nggak pernah serius memikirkan penderitaan rakyat," tandasnya.
Padahal menurutnya, permasalahan pinjol ini bisa ditangani dengan kerjasama antara berbagai pihak, seperti OJK, Komdigi, dan aparat penegak hukum.
"Pinjol ketika itu menjadi ranahnya OJK, maka ketika ada yang bilang itu ilegal, artinya OJK mesti bekerja sama dengan penegak hukum," lanjutnya.
Ia menegaskan adanya kewenangan dari masing-masing lembaga tersebut, tetapi tidak pernah digunakan untuk berkoordinasi antar kementerian, antar lembaga negara, dan aparat penegak hukum.
"Mestinya harus melakukan orkestrasi, penindakan itu secara holistik, secara menyeluruh, tidak parsial-parsial. Kasihan masyarakat yang kemudian masuk di dalam sebuah perangkap teknologi digital yang akhirnya dikenali, ini justru akhirnya mereka terjepit, terbelit, tereksploitasi dengan bunga sangat tinggi," tuturnya.