fin.co.id - Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, di bawah kolong Flyover Roxy, seorang pria berusia 77 tahun berdiri tegak, mengawasi jalur perlintasan liar yang telah menjadi mata pencahariannya.
Namanya Heri, dan dalam setiap detik yang ia habiskan di sana, tersimpan harapan dan rasa tanggung jawab yang mendalam. “Saya belum mau tutup lagi JPL ini,” ujarnya, penuh keyakinan. Suara lembutnya teredam oleh suara bising kendaraan yang melintas, namun semangatnya tak pernah pudar.
Kepada reporter disway, Heri menuturkan kisah perjalanan hidupnya sebagai penjaga Jalur Perlintasan Liar (JPL) di tempat itu. Menjaga JPL, kata Heri, adalah suatu keniscayaan. Terlebih di usianya yang sudah semakin senja.
Bagi Heri, menjaga jalur perlintasan liar (JPL) bukan hanya sekadar pekerjaan; ini adalah cara dia bertahan hidup. “Saya sudah bergantung jaga JPL ini, buat kebutuhan makan,” tambahnya dengan tatapan penuh harap.
JPL di Kolong Flyover Roxy, Jakarta Pusat (Disway/Sabrina Hutajulu)
Baca Juga
Setiap hari, dari jam 10 pagi hingga setengah dua siang, ia bertugas dengan sepenuh hati, menerima penghasilan berkisar Rp60 ribu hingga Rp80 ribu. Meski jumlah itu terbilang kecil, namun setiap rupiah yang ia dapatkan adalah hasil jerih payah yang tak ternilai.
Ia pun menuturkan, bagaimana kisah di balik JPL tersebut. Menurutnya, JPL Kolong Flyover Roxy dibuka atas desakan warga setempat setelah ditutup oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada 2017.
Heri merasakan beban tanggung jawab yang berat; ia dan teman-temannya adalah garda terdepan yang memastikan keselamatan pengendara. “Selama masih aman, kita belum mau tutup. Kalo motor ketabrak, kita tutup. Tapi alhamdulillah, sudah lima tahun aman,” ungkapnya, meskipun sorot matanya mengungkapkan kecemasan yang terpendam.
Setiap detik, sorot mata yang berat terus mengawasi kondisi perlintasan sebidang ilegal tersebut, meski tatap matanya jelas tak lagi seperti dulu, namun rasa tanggung jawab mendasarinya untuk tetap waspada.
Di sekitar JPL, rambu-rambu larangan dan beton pembatas yang digeser menunjukkan bahwa meski ada aturan, kebutuhan masyarakat sering kali bertentangan dengan kebijakan.
Dalam pantauan kami, terlihat empat penjaga, masing-masing dengan ember kecil, menunggu sumbangan sukarela dari pengendara. Dengan ketulusan, mereka berharap bisa mengumpulkan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, di balik semua itu, ada risiko yang mengintai. KAI menegaskan bahwa jika terjadi insiden, mereka tidak akan bertanggung jawab.