[EDITORIAL] Demokrasi atau Adu Jotos? Kontroversi Silfester Matutina vs Rocky Gerung Perburuk Citra Politik!

fin.co.id - 06/09/2024, 07:50 WIB

[EDITORIAL] Demokrasi atau Adu Jotos? Kontroversi Silfester Matutina vs Rocky Gerung Perburuk Citra Politik!

Viral, Tak Tahan Debat dengan Rocky Gerung, Silfester Matutina Pendukung Jokowi Ngamuk Nyaris Adu Fisik

Oleh: Sigit Nugroho, Redaktur fin.co.id

DALAM demokrasi, perdebatan seharusnya menjadi arena bagi pertukaran ide, argumen, dan solusi. Namun, apa yang terjadi antara Silfester Matutina dan Rocky Gerung pada program "Rakyat Bersuara" di iNews TV pada Selasa, 3 September 2024, menggambarkan kekacauan yang jauh dari esensi debat sehat. Ketegangan yang memuncak hingga nyaris adu jotos ini menyoroti krisis serius dalam budaya politik kita.

Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), yang tampaknya frustrasi dengan gaya debat Rocky Gerung yang penuh sindiran, mengancam akan menghajar Gerung.

Matutina merasa bahwa Rocky Gerung, dengan retorika tajamnya, telah merendahkan dan memfitnah banyak pihak, termasuk Presiden Jokowi. Menurut Matutina, tindakan kerasnya adalah bentuk "shock therapy" untuk memberi pelajaran kepada Rocky Gerung.

Namun, adakah perdebatan politik harus berakhir dalam kekerasan fisik? Meskipun Silfester membela tindakannya sebagai reaksi terhadap provokasi, faktanya, insiden ini menunjukkan penurunan moral dan profesionalisme dalam arena politik.

Demokrasi tidak boleh dipandang sebagai ajang adu fisik atau perkelahian verbal. Ketika pemimpin politik mengabaikan norma-norma diskusi yang sehat, mereka merusak integritas sistem politik dan memperburuk citra publik.

Rocky Gerung, sebagai ahli filsafat, merespons tuduhan dengan pendekatan akademisnya, tetapi tampaknya tidak bisa menenangkan situasi yang semakin memanas. Perbedaan dalam metode debat tidak seharusnya menjadi alasan untuk kekerasan fisik. Sebaliknya, harusnya ada saluran yang produktif dan terhormat untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.

Ketika debat politik berubah menjadi ajang adu jotos, semua pihak yang terlibat—baik politikus, media, maupun publik—harus merenung. Apakah ini cermin dari kemerosotan etika dalam diskursus politik kita? Demokrasi memerlukan lebih dari sekadar perbedaan pendapat; ia memerlukan komitmen terhadap diskusi yang konstruktif dan hormat.

Kasus ini harus menjadi peringatan keras bahwa kekerasan dan ketidakdewasaan dalam debat politik hanya merusak fondasi demokrasi. Demokrasi yang sehat memerlukan dialog yang rasional, bukan kekerasan yang hanya akan memperburuk masalah.

Saat para pemimpin politik terjebak dalam pertarungan fisik, yang hilang adalah kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik melalui argumen dan ide yang saling melengkapi.(*)

Sigit Nugroho
Penulis