Gelombang PHK Terjang Smelter Timah Bangka Belitung, Efek Korupsi Rp271 Triliun

fin.co.id - 23/04/2024, 13:13 WIB

Gelombang PHK Terjang Smelter Timah Bangka Belitung, Efek Korupsi Rp271 Triliun

Ilustrasi - Gelombang PHK Terjang Smelter Timah Bangka Belitung

FIN.CO.ID - Dalam rapat terbatas di kantor Presiden, Kamis 25 Juni 2015, Presiden Jokowi berjanji bahwa tambang rakyat di Bangka Belitung akan dilegalkan. “Produksi harus tinggi, namun jangan sampai dilakukan penambangan di hutan konversi” imbuh Jokowi.

Janji Presiden itu kini ditagih. Alih-alih dilegalkan dan dibina, penambang rakyat dikejar dan ditangkap. Hasil tambang rakyat di IUP PT Timah pun kini menyebabkan mantan Direksi PT Timah Periode 2015 – 2022 dan sejumlah pengusaha smelter dijebloskan ke tahanan Kejaksaan. Mereka dituduh membeli timah illegal yang ditambang dari IUP PT Timah, lantas dilebur oleh smelter swasta, kemudian dibeli lagi oleh PT Timah.

Kendati proses itu dituduh bermuatan korupsi, namun Kejagung belum merilis berapa nilai kerugian dari praktik bisnis tersebut. Kejagung menetapkan kerugian negaranya dari penghitungan kerusakan ekologis yang lakukan oleh pakar lingkungan IPB, Bambang Hero Saharjo. Angkanya fantastis. Rp 271 Triliun. Terbesar dalam sejarah penyidikan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia.

Aktivis lingkungan, sekaligus Pembina Yayasan Rehabilitasi Alam Bangka Belitung Elly Rebuin mempertanyakan metode yang digunakan oleh Bambang Hero Saharjo. Penambangan timah di Bangka telah dimulai sejak tahun 1711.

“Kerusakan alam babel, sudah terjadi sejak peradaban timah berlangsung. Kok bisa kerusakan alam tersebut dibebankan ke kegiatan kerjasama tahun 2015 – 2022,” Tanya Elly. Menurutnya,  kerusakan tidak bisa dilihat pada periode tertentu saja karena kegiatan penambangan sudah berlangsung berabad-abad sebelumnya.

Aktivitas tambang timah, menurut Wakil Ketua Bidang Lingkungan Hidup HKTI Babel itu, jangan hanya dilihat dari aspek negatifnya. Tapi keuntungan ekonomi bagi pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis juga harus dipertimbangkan.

Elly juga mempertanyakan siapa yang dituduh Kejaksaan Agung melakukan perusakan. Jika itu dialamatkan kepada penambang rakyat, maka umumnya mereka menambang dilahan miliknya sendiri, meskipun tidak memiliki IUP.

“Mereka telah menambang sebelum PT Timah dan smelter didirikan,” jelasnya.

Lebih lanjut Elly juga mempertanyakan uang jaminan reklamasi yang sudah disetor PT Timah dan smelter ke negara, “kok tidak dijadikan pertimbangan oleh Kejaksaan,” sergahnya.

Elly berpendapat bahwa pelaku tambang bekerja tidak dalam kondisi tata niaga yang jelas. Tapi carut marut. Kerjasama dengan PT Timah di akhir tahun 2018 – 2020 dimana hasil tambang rakyat dikumpulkan oleh PT Timah, diberi kompensasi dan dilebur ditempat smelter swasta lalu hasilnya logam dikirim ke PT Timah menurut Elly adalah skema yang paling benar.

“Hasil carut-marut kembali ke negara melalui PT Timah, penambang rakyat tetap bekerja dan perekonomian babel tetap berjalan,” jelas Elly.

Terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang dan Pengolahan Pasir Mineral Indonesia (Atomindo) Rudi Syahwani mengungkapkan kondisi yang terjadi di Bangka Belitung mempersempit ruang masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan dari tanah miliknya sendiri. Seperti diketahui, setiap aktivitas pertambangan harus memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) sesuai UU Minerba. Namun, ada kesulitan bagi masyarakat untuk memperoleh IUP ini karena birokrasi yang berbelit.

"Akhirnya masyarakat menambang timah di lahannya sendiri, memang secara aturan tidak boleh karena tidak memiliki IUP. Tapi masyarakat bilang ini tanah saya kok, ada Sertifikat Hak Milik (SHM) yang resmi dari negara, jadi boleh dong, dan ini sudah terjadi selama puluhan tahun," kata Rudi.

Sebenarnya PT Timah dan Smelter tidak bisa menerima hasil tambang timah dari masyarakat karena dianggap ilegal dan melanggar hukum. Namun hal itu harus dilakukan karena banyak wilayah konsesi IUP PT Timah dan perusahaan swasta yang ternyata tidak memiliki kandungan timah. Sebaliknya, lahan masyarakat seperti perkebunan justru menghasilkan timah meski hanya di beberapa titik.

"Di sini akhirnya transaksi terjadi, namanya masyarakat kan pragmatis butuh uang, mereka menjual hasil tambang timahnya ke swasta karena dari sisi harga bisa dua kali lipat dibanding jika menjual ke PT Timah, untuk pencatatan laporan klaimnya dari IUP konsesi perusahaan swasta tadi. Nah ini masalahnya, perlu ada revisi regulasi yang memfasilitasi. Kalau masyarakat dilarang menambang toh itu di tanah mereka sendiri, dan aktivitas itu ada sebelum PT Timah dan swasta ada di tempat mereka. Aneh kalau masyarakat yang dikorbankan," kata Rudi.

Dapatkan berita terkini langsung di ponselmu. Ikuti saluran FIN.CO.ID di WhatsApp: https://whatsapp.com/channel/0029Vajztq

Sahroni
Penulis
-->