Lalu saya mencoba menjawab pertanyaan soal ''apakah di dunia ini ada pengusaha yang baik''.
"Tidak banyak. Tapi ada," jawab saya.
"Menurut saya tidak ada," katanya.
"Bagaimana bisa tidak ada?"
"Pengusaha itu harus jualan. Berarti merebut konsumennya orang lain. Bagaimana bisa disebut baik," katanya.
"Saya setuju dengan Anda kalau pengertian 'baik' sampai sejauh itu," kata saya.
"Memang untuk berbuat baik kadang perlu uang..," katanya.
Lalu saya mengutip kata-kata teman saya, seorang pengusaha Tionghoa, yang tidak pernah saya lupa. Kali ini saya ucapkan agak pelan agar ia mencerna dengan baik: "Tuhan itu baik. Tapi hanya uang yang bisa membuat orang mengatakan Tuhan itu baik."
Ia tampak serius memikirkan kata-kata itu. Merenungkannya. Lalu mengangguk-angguk.
"Iya sih, untuk berbuat baik perlu uang..." katanya.
Di gereja, kata saya, soal ini juga jadi perdebatan yang seru. Memberi pelayanan dulu atau punya uang dulu.
Saya pun menyebut beberapa nama gereja yang begitu aktif mencari uang. Alasannya: agar bisa memberikan pelayanan lebih baik.
Ia lantas bicara soal uang. "Untuk apa uang. Untuk apa tidak habis-habisnya mencari uang?"
Saya merasa pertanyaan itu untuk saya pribadi. Maka saya harus menjawabnya jujur.
"Saya juga tidak tahu untuk apa uang. Bahkan saya juga tidak tahu untuk apa kerja mati-matian siang malam".