Amnesti Internasional menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya wewenang memeriksa kasus korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) meskipun itu melibatkan dua prajurit aktif TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan.
Dikatakan, ada tiga asas hukum yang menjamin kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas, meskipun itu melibatkan prajurit TNI.
“Asas hukum pertama adalah hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah," kata Usman Hamid lewat siaran pers, Minggu 30 Juli 2023.
BACA JUGA:
- Kabasarnas Jadi Tersangka KPK, Panglima TNI: Harus Jadi Pelajaran, Tetap Tanamkan Diri Aku Ini TNI
- Kasus Kabasarnas, Mahfud MD: Tak Perlu Diperdebatkan Panjang, Fokus Penanganan Korupsinya
"Asas hukum kedua, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Asas hukum yang ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum,” sambungnya.
Dia menjelaskan UUD 1945 sebagai konstitusi negara membawahi undang-undang di bawahnya, termasuk undang-undang yang mengatur peradilan umum dan peradilan militer.
Usman menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 mengatur kedudukan seluruh warga negara, tanpa terkecuali, sama di dalam hukum.
“Setiap orang, tanpa terkecuali memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, baik warga sipil, warga berstatus anggota Polri, maupun warga berstatus anggota TNI. Siapa pun tidak boleh kebal hukum,” kata Usman Hamid.
BACA JUGA:
- Panglima TNI Yudo Margono Respons Kasus Suap Kabasarnas
- Ini Alasan TNI Keberatan dengan OTT KPK dan Penetapan Tersangka Kepala Basarnas
Terkait itu, dia menekankan anggota TNI merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang artinya mereka punya kedudukan yang sama dengan warga sipil lainnya dalam menjalani proses hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945.
Kemudian, terkait asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, Usman menyoroti penggunaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Kalau sudah ada Undang-Undang Peradilan Militer tentu Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970 tidak berlaku lagi, tetapi kalau sudah ada Undang-Undang TNI Tahun 2004, maka seluruh undang-undang di belakang dikesampingkan,” kata Usman Hamid.
Dia menekankan isi Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Asas hukum ketiga, dia melanjutkan, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Usman menilai kasus tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum.