News . 20/04/2023, 22:41 WIB
Artinya, “Diriwayatkan dari sahabat Anas, ia berkata, ‘Sekali waktu Nabi saw datang di Madinah, di sana penduduknya sedang bersuka ria selama dua hari. Lalu Nabi bertanya ‘Hari apakah ini (sehingga penduduk Madinah bersuka ria)?’ Mereka menjawab ‘Dulu semasa zaman jahiliah pada dua hari ini kami selalu bersuka ria.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah swt telah menggantikannya dalam Islam dengan dua hari yang lebih baik dan lebih mulia, yaitu hari raya kurban (Idul Adha) dan hari raya fitri (Idul Fitri).’” (HR Abu Dawud).
Ma’asyiral muslimīn a’azzakumullāh.
Hanya saja, jangan sampai kebahagiaan di momen Idul Fitri membuat kita larut dalam kesenangan sehingga lupa bahwa pada hari kemenangan ini Allah menganjurkan kepada kita untuk beribadah dan tetap memiliki kesadaran sosial.
Sebab, bisa jadi saat itu ada saudara sesama Muslim yang kondisi ekonominya sedang tidak baik-baik saja sehingga jangankan mengenakan baju baru, untuk menikmati makanan spesial Idul Fitri saja belum bisa.
Saat hari raya Idul Fitri, kesadaran sosial kita seharusnya semakin matang. Jika selama Ramadhan kita digembleng untuk menahan lapar dan dahaga sehingga bisa merasakan bagaimana menjadi orang yang hidupnya berkekurangan, maka Idul Fitri menjadi puncak kematangan empati kita sebagai seorang Muslim.
Berbagi kepada saudara yang sedang berkekurangan di momen mulia ini menjadi salah satu bentuk pengamalan dari pengalaman yang sudah kita lalui selama berpuasa.
BACA JUGA: Arus Mudik Lebaran 2023: 393.060 Kendaraan Tinggalkan Jakarta melalui GT Cikampek Utama
Bisa jadi saat kita sedang menikmati opor ayam atau bersuka ria memakai baju baru, masih ada saudara yang belum bisa merasakan kenikmatan ini. Oleh sebab itu tepat kiranya jika Idul Fitri dijadikan sebagai momen berbagi. Syekh Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i dalam Kanzun Najāḥ was Surūr mengatakan,
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْدُ، وَكُلُّ يَوْمٍ لاَ يُعْصَى فِيْهِ فَهُوَ عِيْدٌ
Artinya, “Bukanlah disebut hari ‘id (hari raya Idul Futri) bagi orang yang mengenakan (pakaian) baru. Hari ‘id sesungguhnya adalah ketika ketaatan seseorang meningkat. Setiap hari ketika ia tidak melakukan maksiat, maka hari itu dinamakan ‘id.” (Abdul Hamid al-Makki asy-Syafi’i, Kanzun Najāḥ was Surūr, 2009: h. 263).
Apa yang dikatakan Syekh Abdul Hamid di atas menegaskan bahwa esensi hari raya Idul Fitri adalah sejauhmana kita mampu menjaga konsistensi ibadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama manusia.
Memakai baju baru memang dianjurkan sebagai bentuk syukur atas nikmat hari agung ini, tapi jangan sampai ekspresi syukur tersebut berlebihan sehingga membuat kita lupa bahwa ternyata masih banyak saudara sesama muslim yang belum bisa bermewah ria seperti kita.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com