BACA JUGA: Arek Kesel
Tentu saya juga mampir ke warung kopi Asiang. Masih juga ramai. Padat. Masih banyak yang berebut berfoto bersama si Asiang yang selalu tidak pakai baju itu.
Saya pun disodori foto lama saya ngopi di situ. Agar ditandatangani. Akan dipajang. Saya pun bertanya pada Asiang: "Apakah sudah tahu ada anak muda Pontianak menjadi juara dunia?" tanya saya.
"Juara apa?" tanya Asiang.
"Juara bikin kopi. Juara lima. Bulan lalu. Di kejuaraan dunia di Melbourne," jawab saya.
BACA JUGA: Tuhan Uang
"Hebat ya Pontianak," komentarnya.
Dari kopi Asiang saya ke es krim. Di depan SMA Santo Paulus itu. Saya ajak senior saya ke situ. Saya dorong kursi rodanya. Ia adalah Pak Tabrani Hadi. Ia pendiri Pontianak Post. Umurnya sudah 81 tahun. Beliau harus di kursi roda karena stroke 8 tahun lalu.
Saya jemput ia ke rumahnya. Bicaranya sudah mulai lancar. Di kedai es krim yang berdiri sejak 1950 itu kami bertukar rindu. Juga mengenang masa lalu. Yakni masa ketika Pak Tabrani menemui saya: menyerahkan Pontianak Post (masih bernama Akcaya) kepada saya.
Itulah kedatangan saya pertama ke Pontianak. Tahunnya saya sudah lupa. Setelah dua hari di sana saya mengambil kesimpulan: Harian Akcaya ini tidak perlu saya.
BACA JUGA: Juara Kopi
Akcaya sudah punya kantor. Sudah punya mesin cetak. Tidak punya utang. Bisa beli bahan-bahan baku sendiri. Masih bisa terbit rutin seminggu sekali.
"Bapak tidak perlu investor. Jalan sendiri saja," ujar saya.
"Saya pengin mingguan ini jadi harian. Saya pengin maju. Saya merasa cocok dengan Pak Dahlan," ujar Pak Tabrani.
Waktu Pak Tabrani memang terbatas. Ia pejabat tinggi di Pemda Kalbar: Asisten sekwilda. Potensial sekali naik jabatan. Ia mencintai dunia publikasi dan fotografi. Sejak masih muda. Sosoknya mungil, kulitnya bening, bicaranya lirih, solah bawanya halus. Ia tidak pernah menyela orang yang lagi bicara.