“Variasi genetik yang ditemukan pada 16 jenis gen ini dapat memengaruhi risiko keparahan dan perawatan intensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami infeksi COVID-19 parah, mereka memiliki variasi genetik yang membuat tubuhnya rentan terhadap peradangan, pembekuan darah, serta ketidakmampuan tubuh pasien untuk mengatasi replikasi virus di dalam tubuhnya” ungkapnya.
Prof. Maksum mengatakan bahwa berdasarkan hasil study para peneliti mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kelompok manusia yang digolongkan sebagai NOVID yaitu (i).Adanya variasi genetik. Sebagian kecil manusia dilahirkan telah memiliki gen spesifik yang kebal terhadap virus, termasuk virus yang menyebabkan COVID-19; (ii). Kelompok manusia yang kebal karena pernah terinfeksi virus yang sekerabat sebelumnya; (iii).
Kelompok yang pernah terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala; dan (iv). Kelompok yang memiliki kebiasaan hidup sehat dan sangat berhati-hati.
BACA JUGA: Pemerintah Terus Genjot Vaksinasi COVID, Terutama Kelompok Lansia
Hubungan sistem kekebalan tubuh dengan NOVID.Menjawab pertanyaan bagaimana kaitan antara sistem kekebalan tubuh dengan NOVID, Prof. Maksum menjelaskan bahwa sistem imunitas setiap orang berbeda-beda.
Bagaimana sistem kekebalan merespons infeksi tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor genetik, jenis kelamin, usia, pola makan, pola tidur, tingkat stres, riwayat penyakit penyerta, obat, status vaksinasi, dan tingkat paparan virus.
“Status sistem kekebalan tubuh akan mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit infeksi. Sehingga bagi orang yang rentan terhadap COVID-19 adalah mereka yang memiliki kekebalan kurang efektif, terutama karena memiliki penyakit penyerta yang kronis, para lansia, ataupun mereka yang sistem kekebalannya menurun dan tidak berfungsi dengan baik” paparnya.
“Faktor lainnya”, menurut Prof. Maksum, “adalah faktor virus SARS-CoV-2 itu sendiri. Virus ini sejak kemunculannya terus bermutasi menghasilkan varian-variannya yang lebih menular dan lebih virulen. Demikian pula dengan subvarian Omicron baru yang terus bermunculan. Adanya berbagai mutasi, terutama pada protein spike (S) virus berpengaruh terhadap interaksi antigen antibodi dalam tubuh seseorang. Saat ini telah terdeteksi sub-varian Omicron yang jauh lebih menular diantaranya adalah sub-varian Omicron BQ.1, BQ.1.1, XBB, dan XBB.1, yang semuanya berasal dari varian Omicron”.
“Apakah antibodi yang terdapat dalam tubuh seseorang mampu mengenali dan mengikat antigen virus SARS-COV-2 dengan berbagai varian dan sub-variannya akan sangat berpengaruh pada perlindungan dan kerentanan sistem kekebalannya”, paparnya.
Prof. Maksum juga menambahkan bahwa berdasarkan berbagai penelitian, telah diketahui bahwa SARS-CoV-2 sangat mahir berevolusi untuk menghasilkan varian virus yang dapat menghindari sistem kekebakan tubuh seseorang.
Selain itu, perlindungan kadar antibodi terhadap SARS-COV-2 yang telah terbentuk mengalami penurunan setelah beberapa bulan jika tidak dilakukan vaksinasi ulang berikutnya atau booster vaksin.
Dengan demikian ada kemungkinan beberapa orang tertentu yang lebih kecil kemungkinannya terkena COVID-19 karena kekuatan sistem kekebalan mereka.
Upaya menghadapi lonjakan sub-varian Omicron XBB di Indonesia.
Prof. Maksum menjelaskan bahwa pada dasarnya upaya pencegahan untuk semua varian dan subvarian SARS-CoV-2 adalah sama, yaitu penerapan protokol kesehatan yang baik dan program vaksinasi.
Oleh karena itu, selama kita menerapkan protokol kesehatan dengan baik kita tidak perlu terlalu khawatir terhadap ancaman transmisi Omicron sub-varian XBB maupun varian lainnya.