JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan menyoroti pidato Presiden Jokowi saat menyampaikan RAPBN 2022. Salah satu poin yang patut disorot adalah rencana pemerintah yang menetapkan defisit anggaran sebesar 4,85 persen dari PDB, atau Rp868 triliun.
/p>
Dibandingkan tahun sebelumnya, rencana defisit fiskal ini berkurang, dari sebelumnya 6,34 persen (2020) dan 5,7 persen (2021). Pemerintah juga menyatakan berkomitmen untuk menurunkan batas defisit sampai di angka 3 persen dari PDB pada 2023.
/p>
Sekilas, rencana fiskal pemerintah ini patut diapresiasi sebab menunjukkan semakin berkurangnya kebergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri. Namun demikian, sampai kuartal II 2021, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa posisi utang luar negeri sebesar Rp6.554,6 triliun.
/p>
Angka ini mengisyaratkan bahwa rasio utang terhadap PDB masih di 41,35 persen. Ini tentu masih jauh lebih tinggi dibandingkan masa Pemerintahan Presiden SBY yang berhasil menurunkan rasio utang hingga di angka 24 persen dari PDB.
/p>
“Saya mengapresiasi rencana fiskal di tahun 2022 yang berkomitmen untuk mengurangi defisit anggaran. Maka tentu kualitas fiskal menjadi semakin sehat dan hal ini telah berkali-kali saya tegaskan dalam berbagai kesempatan. Karenanya, pemerintah harus memastikan bahwa komitmen pengurangan utang ini perlu dituntaskan secara nyata,” papar Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
/p>
Namun di sisi lain, politisi senior Partai Demokrat ini mengingatkan bahwa indikator utang kita masih menyisakan banyak catatan. Pasalnya, Badan Pemeriksa Keuangan mengkhawatirkan kesanggupan pemerintah dalam melunasi pokok utang beserta bunganya yang terus membengkak.
/p>
Dari audit BPK atas APBN 2020, semua indikator utang yang menunjukkan keberlanjutan fiskal melampaui semua patokan ideal dalam pengelolaan utang. Resiko dan beban utang pemerintah, maupun rasionya terhadap penerimaan negara dan penerimaan transaksi berjalan jauh di atas batas ideal yang seharusnya
/p>
Oleh karena itu, BPK menegaskan bahwa kunci untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan fiskal adalah melalui optimalisasi penerimaan negara, terutama pajak. Ini juga lah yang menjadi dilema pemerintah.
/p>
Secara tahunan dengan berbagai pembatasan aktivitas ekonomi di masa pandemi, Bank Indonesia memprediksi ekonomi hanya tumbuh di angka 3,5 prsen, begitupun IMF memprediksi di angka 3,9 persen.
/p>
Sebagai referensi pada pemerintahan Presiden SBY, Indonesia berhasil menekan rasio utang hingga di angka 24 persen dan memacu ekonomi tumbuh konsisten di atas rata-rata 6,0 persen.
/p>
Indonesia kala itu menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia setelah China dan India. Ini tentu mensyaratkan kreativitas dan inovasi pemerintah untuk menggali dan mengoptimalisasi sumber-sumber penerimaan dalam negeri, terutama pajak. (khf/fin)
/p>