JAKARTA - Pakar Ekonomi Faisal Basri berpendapat, bahwa untuk memindahkan Ibukota di kala pandemi saat ini, merupakan suatu hal yang tidak relevan. Bahwa, dalam masa pandemi ini, ada potensi Indonesia mengalami gelombang kedua.
Menurutnya, dengan fasilitas kesehatan yang masih kurang dan tingkat vaksinasi Indonesia saja relatif masih rendah, maka angka kematian tentu akan naik pula.
“Vaksinasi prioritas entah ke berapa. Lebih penting membeli senjata 1.800 triliun itu ketimbang vaksinasi yang tidak seberapa,” ujar Faisal.
Struktur ekonomi Indonesia juga dianggap rapuh, dikarenakan indeks demokrasi kita yang turun. Padahal menurut Faisal kemajuan demokrasi itu berhubungan positif dengan kemajuan ekonomi.
Masyarakat harus mengubah paradigma bahwa politik dan ekonomi itu tidak dapat dipisahkan—demokrasi memengaruhi ekonomi.
“Kegiatan ekonomi di Indonesia makin tidak bermutu, mengandalkan otot bukan otak. Makanya oligarki semakin menguat. Untuk mengatasinya, harus transformasi. The only way untuk kita keluar dari middle-income trap adalah dengan transformasi dan pembangunan berkelanjutan,” bebernya.
Selain ekonomi yang rapuh, pengeluaran pemerintah pusat naik terus, tidak peduli adanya krisis. Sayangnya, transfer ke daerah relatif stagnan.
Faisal mengatakan bahwa pembangunan kita sangat tidak inklusif dan adanya ketimpangan. Semakin parahnya lagi, solusinya malah membangun ibukota.
“Apakah benar pembangunan ekonomi lebih merata gara-gara ibukota diganti? Ya ndak benar. Sesat! Karena apa? Karena kalau kita lihat itu komitmen negara untuk mendorong penguatan daerah itu makin lama makin merosot di era Jokowi lagi-lagi,” tutupnya. (khf/fin)