Firli mengatakan besarnya selisih antara harta yang dimiliki dan biaya politik itulah yang membuat para cakada terbebani. Karena itu, menurut Firli, tak jarang cakada ini akan menjanjikan sesuatu kepada pihak ketiga yang mau memberikan bantuan dana untuk ikut pilkada.
"Alasan calon kepala daerah era ini sudah menggadaikan kuasanya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada. Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berhadapan dengan masalah hukum," ujarnya.
Ditambahkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, pihaknya hadir bukan untuk mengganggu kontestasi politik. Tetapi untuk pencegahan agar kepala daerah yang terpilih bukan produk gagal.
Karena itu, dia meminta, cakada bukan berlomba-lomba menjadi penguasa, melainkan pelayan rakyat. Jadi, aspirasi tidak berakhir pada jual beli kekuasaan.
Praktik jual beli kekuasaan hanya melahirkan penguasa lalai dalam melaksanakan tujuan bernegara. Maka, akan menciptakan kepala daerah yang gemar korupsi, dari sektor sumber daya alam (SDA), hingga sumber daya manusia (SDM).
"Kalau sudah begini, kita bernegara hancur, berpilkada inginnya mendapatkan pimpinan-pimpinan yang bagus, tetapi yang terlahir adalah pembeli-pembeli kuasa rakyat. Yang ketika duduk memperdagangkan kuasanya," tutur Ghufron.(gw/fin)