News . 31/10/2020, 10:00 WIB
JAKARTA - Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dalam jaringan (daring) nampaknya masih juga belum efektif di tengah kondisi pandemi saat ini. Sistem belajar tersebut, seperti dianggap sebuah ancaman besar bagi para siswa pendidik yang menjalankannya.
Kabar terbarunya, konsep belajar daring ini kembali memakan 'korban' seorang siswa SMP di Tarakan, Kalimantan Utara. Siswa tersebut gantung diri diduga depresi menjalankan PJJ.
Kasus bunuh diri siswa ini menjadi rentetan buruk PJJ semenjak diterapkan pada Maret 2020. Sebelumnya ada dua diduga 'korban' PJJ. Seorang anak berusia delapan tahun di Lebak, Banten, misalnya, meninggal karena dianiaya orang tuanya saat PJJ. Alasannya orang tua stres, karena tidak bisa mendampingi anaknya belajar di rumah dengan baik.
Kemudian, seorang siswi berinisial MI (16) asal Gowa, Sulawesi Selatan melakukan bunuh diri diduga karena terbebani tugas PJJ. MI meminum racun karena diduga tak sanggup mengerjakan banyaknya tugas saat PJJ.
"Ibunda korban menjelaskan bahwa ananda memang pendiam dan memiliki masalah dengan pembelajaran daring. Anak korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ daring tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tugas-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan," kata Retno dalam keterangannya, Jumat (30/10).
Retno menjelaskan, sejatinya anak tersebut telah bisa beradaptasi selama PJJ. Namun, saat memasuki semester baru pada Juli 2020, anak tersebut mulai merasa depresi. Siswa itu tercatat duduk di kelas 9, atau sudah berada di tingkat terakhir untuk jenjang SMP.
"Semua materi baru dan penjelasan materi dari guru sangat minim, sehingga banyak soal dan penugasan yang sulit dikerjakan atau diselesaikan para siswa. Akhirnya tugasnya menumpuk hingga jelang ujian akhir semester ganjil pada November 2020 nanti," ungkap Retno.
Berdasarkan laporan ibu korban, kata Retno, pada 26 Oktober 2020, datang surat dari pihak sekolah yang isinya anak tersebut memiliki tagihan tugas sebanyak 11 mata pelajaran. Rata-rata jumlah tagihan tugas yang belum dikerjakan siswa itu yakni tiga sampai lima tugas per mata pelajaran.
Menurut orang tua korban, lanjut Retno, anaknya belum menyelesaikan tugasnya bukan karena malas. Tetapi, karena memang tidak paham sehingga tidak bisa mengerjakan.
"Ibu korban sempat berkomunikasi dengan pihak sekolah terkait beratnya penugasan. Namun, pihak sekolah hanya bisa memberikan keringanan waktu pengumpulan, tapi tidak membantu kesulitan belajar yang dialami anak tersebut," imbuhnya.
Orang tua korban menduga kuat kalau surat dari sekolah itulah yang membuat anaknya bunuh diri. Pasalnya, dalam surat tersebut menyiratkan pesan, jika tugas-tugas tidak dikumpulkan maka anak korban tidak bisa mengikuti ujian semester ganjil.
"Barangkali tujuan pihak sekolah hanya sekadar mengingatkan. Namun, bagi remaja yang mengalami masalah mental, kecemasan, stres atau malah depresi karena ketidakmampuan mengerjakan tugas-tugas PJJ, memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan pikiran tentang bunuh diri," terangnya.
"Kalau tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain PJJ nya baik-baik saja. Bisa jadi kasus yang mecuat ke publik merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.
Untuk itu, pihak sekolah didorong mengurangi beban psikologis peserta didik khususnya dalam hal pengumpulan tugas selama PJJ. Sekolah jangan sampai memaksa seorang siswa mengumpulkan tugas tanpa mengetahui kondisi dan kendala siswa tersebut.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com