JAKARTA- Penduduk dan daya dukung lingkungan ibarat dua sisi mata uang. Saling terkait. Bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk berlimpah, diperlukan pengaturan yang tepat agar keduanya berjalan dengan harmonis.
Hal itu menjadi benang merah dalam Webinar Series 4 Mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045 Melalui Pembangunan Berwawasan Lingkungan, dengan tema "Bumi dan Manusia: Sejahtera Jika Berencana Bersama", Selasa (13/10/2020).
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa, dan bertambah di 2018 menjadi 265 juta jiwa.
Pertambahan penduduk dipacu oleh laju pertumbuhan yang mencapai 1,49 %. Hasil Sensus Penduduk 2010 juga menunjukkan bahwa sebanyak 57,5 % penduduk Indonesia berada di Jawa. Di luar Jawa sekitar 50 % berada di Pulau Sumatera.
Penduduk Indonesia pada dasarnya bersifat agraris-pedesaan. Situasi ini bervariasi antar daerah, yang dapat dilihat pada perimbangan antara jumlah penduduk yang bertempat tinggal di wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan (wilayah urban).
Penduduk di wilayah pedesaan sebagian besar masih merupakan petani atau buruh tani yang pendapatannya berasal dari bercocok tanam. Karena itu, ketergantungan penduduk terhadap lahan sangat besar. Pertumbuhan jumlah penduduk petani mengakibatkan luas lahan yang diolah semakin kecil, sehingga makin banyak petani yang tidak mempunyai lahan.
Keadaan ini menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan. Artinya, kebutuhan akan lahan garapan terus bertambah tetapi luas lahan terbatas. Sehingga kemampuan suatu daerah untuk mendukung kehidupan, yang disebut daya dukung lingkungan, terbatas pula.
"Karena tekanan penduduk terhadap lahan terus bertambah maka daya dukung lingkungan akan terlampaui" ujar Dr. Asep Sofyan, St. Mt, Sekretaris Pusat Studi Lingkungan Hidup ITB dalam webinar tersebut. Untuk mengatasi lahan pertanian yang semakin terbatas, pemerintah membuka lahan gambut dengan segala tantangannya.
Pembukaan lahan dilakukan mengingat luasnya areal lahan gambut di Indonesia. Keberadaan lahan gambut ini disentuh Prof. Dr. H Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc, Rektor Universitas Lambung Mangkurat, dalam Webinar tersebut. "Wilayah Kalimantan merupakan raksasa sedang tidur. Potensi besar untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Menjadi kawasan 'food estate'. Eks lahan gambut ada seluas 1 juta hektare," ujar Sutarto.
Sesungguhnya lahan gambut memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Karenanya sulit dikembangkan menjadi lahan pertanian. Namun akibat penyusutan lahan pertanian di Jawa sangat pesat, maka pemanfaatan lahan gambut menjadi tuntutan yang semakin kuat. Melalui rekayasa tepat guna, lahan gambut berhasil diubah menjadi lahan pertanian yang produktif dan subur. Diperuntukan bagi pertanian yang berkelanjutan.
"Alhamdullilah, kini kami bisa menghasilkan beras di lahan gambut 1 hektare untuk tujuh ton. Prospek yang baik. Kini, Kalimantan Selatan mengembangkan puluhan ribu hektare lahan gambut untuk diolah menjadi area pertanian," jelas Sutarto.
"Tidak berbahaya dan tidak merugikan kita. Dengan begitu kita bisa mempertahankan ketahanan pangan untuk kesejahteraan masyarakat. Restorasi lahan gambut cukup berhasil," ujarnya menambahkan.
Sementara Asep Sofyan melihat banyak hutan di Indonesia di konversi. Akibatnya kawasan hutan pun berubah fungsi. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah. "Kita harus memiliki strategi menjaga hutan kita. Sudah saatnya kita melakukan. intensifikasi pemanfaatan lahan produktif dibanding terus memperluas," ujar Asep.
Ia mencontohkan pengelolaan sawit di mana pemerintah Malaysia mewajibkan melakukannya secara intensifikasi. Hasil produksi sawit. Asep bilang justru lebih banyak dari Indonesia. Namun begitu, untuk pulau yang relatif luas, Asep menyarankan agar pemerintah menyinergikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan. "Rumusnya sudah ada. Tinggal bagaimana kita memakainya," ujarnya.