News . 06/10/2020, 17:55 WIB

Mobilitas Penduduk Harus Dikaitkan dengan Daya Dukung Lingkungan

Penulis : Admin
Editor : Admin

Salut mengatakan bahwa pekerja migran sangat bias gender. Cenderung dikuasai oleh kaum laki-laki atau sekitar 58 persen dan terkonsentrasi di beberapa negara. Sebut saja Uni Emirat Arab, Qatar, USA, Kanada, dan beberapa negara Eropa. Global migran, menurut Salut, 40 persen berasal dari kawasan Asia, seperti Indonesia, India, China. Arah perpindahannya, lanjut Salut, lebih banyak ke wilayah sekitar dari negara asalnya. Pasalnya, migrasi berbiaya mahal dan butuh banyak "resources", selain diminati karena adanya peluang ekonomi atau peningkatan kesejahteraan.

"Pekerja Indonesia akan memilih bekerja di Malaysia. Afrika cenderung berpindah ke sesama Afrika. Asia sesama Asia. Eropa ke Eropa. Tapi ada juga kecenderungan Asia ke Eropa," jelas Salut.

Namun, kondisi itu berubah saat pandemi Covid-19. Pertengahan Maret lalu mulai banyak negara yang melakukan "retraction" total. Sampai Juli mencapai 400 negara.

"Covid telah turunkan tingkat mobilitas. Indonesia awal Januari-Maret kirim tenaga kerja ke Singapura, Taiwan Hongkong, hingga Jepang demikian lancar. Namun mulai turun sejak April," ujarnya.

Permukiman kumuh & padat

Sementara pembicara berikutnya, Dr. Wahyu Mulyana ST, MA, Senior Advisor, Urban Regional Development Institut, mengatakan bahwa permukiman kumuh dan padat penduduk berpotensi tinggi menyebabkan penularan Covid-19 antar individu. Hingga kini, permukiman kumuh masih mewarnai wajah kota-kota metropolitan di Indonesia. Ini lantaran migrasi penduduk lebih banyak menuju kota-kota besar.

"Tren ke depan, kota sedang dan kecil di sekitar kota metropolitan akan menjadi tumpuan ekonomi. Karena itu harus didorong fasilitas dan prasana ekonominya agar memadai mendukung kota metropolitan," ujar Wahyu.

"Nantinya produk yang dihasilkan tidak mengandalkan kota besar lagi tapi justru dikirim ke kota besar dan ke luar negeri. Meski skala penduduknya sedang dan kecil tapi ketersediaan sarana dan prasarana kota itu mendukung. Seperti Jember dan Banyuwangi di Jawa Timur. Itu akan mencegah generasi muda mencari kerja di kota metropolitan," tutur Wahyu.

Wahyu berharap pertambahan penduduk perkotaan akan berkontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi nasional.

"Saat ini kota masih jadi kantong-kantong kemiskinan. Ketimpangan yang ada di perkotaan lebih tinggi dari pedesaan. Setidaknya 13,5 juta rumah tangga belum memiliki tempat hunian yang layak. Atau 38.000 permukiman kumuh masih ada di perkotaan," terang Wahyu.

Selain kumuh, problematika penduduk di perkotaan adalah masalah kesehatan, penghasilan, air bersih dan sanitasi layak, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, transportasi dan energi.

Adapun pembicara lainnya Dr. Chotib Hasan, Peneliti Lembaga Demografi, FEB, UI, menyorot soal motivasi dan dampak mobilitas penduduk dan urbanisasi: tinjauan teoritis dan empiris. Dia mengatakan keluarga yang memiliki jumlah anggota banyak cenderung kurang mobil. Demikian halnya dengan mereka yang sudah menikah atau memiliki anak yang bersekolah.

"Tetapi semakin tinggi pendidikan, akan semakin berpeluang orang untuk bermigrasi," tandas Chotib. (man/fin). 

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com