TANGERANG - Tetap bertahan di tengah pagebluk korona bukan hal mudah. Bagi mereka para pekerja, banyak yang kena PHK. Bagi yang usaha dagang, sebagian besar sepi bahkan beberapa gulung tikar. Cara sederhana sering kali terlupakan. Bercocok tanam yang dianggap sepele, justru menjadi pelita.
TOGAR HARAHAP- Tangerang
Sirup dari tanaman jahe diseruput Hanifah Bowo hingga tuntas. Tak tersisa, termasuk bulir-bulir jahe kekuningan yang masih menempel di gelas jumbonya. ”Segar!” kata wanita berkulit hitam manis itu. ”Ayo tambah lagi, ini murni tanaman organik tanpa pestisida dan bahan kimia lainnya,” lanjutnya sambal mempersilahkan tamu yang hadir di sebidang kebun menghabiskan isi jamuan sehat tersebut.
Hanifah Bowo adalah Ketua Kelompok Wanta Tani (KWT) Kenanga ini memang sudah memulai bercocok tanam sejak medio 2017 lalu. Memanfaatkan lahan tidur di sekitaran kompleks perumahannya.
BACA JUGA: Presiden Diminta Merumuskan Rancangan Perpres Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Luas tanahnya juga tidak begitu besar. Berada di Jalan Flamboyan 1, RT02, RW07, Kelurahan Bugel Mas Indah, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Sekira 250 meter persegi. Wanita 51 tahun ini bercerita, awalnya lahan yang kini telah menghasilkan pundi-pundi rupiah bukanlah lahan siap pakai. Tumpukan puing dan gunungan sampah harus dibuangnya jauh-jauh.Tidak punya modal sudah pasti. Tapi bukan berarti jalan buntu. Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kota Tangerang menjadi awalnya. Lembaga pemerintahan tingkat kota ini memberikan sejumlah bantuan. Bibit, pupuk, alat pertanian sederhana, dan polybag menjadi modal awal Hanifah.
Lahan di sudut perumahan yang mirip huruf L ini disulap menjadi pertanian sederhana ala kadarnya. Penyemaian sejumlah bibit dilakukan Hanifah. Perlu proses tentunya. Hingga keluar benih. “Lumayan juga, butuh ekstra sabar. Karena harus rajin menyiram dan memberi pupuk. Kami diberi bibit jahe dan beberapa bibit sayuran.
BACA JUGA: Tengku Zulkarnain ke PDIP: Lama-Lama Kalian Bilang Nabi Muhammad itu Tokoh Asing
Alhamdulillah bisa berkembang dan bisa memberikan bibit baru,” kata Hanifah dengan logat jawa kental.Hanya berselang sekitar satu tahun, ia sudah bisa memanen hasil tanamannya. Tidak seberapa memang. Tetapi cukup untuk membeli bibit sayuran baru dan pupuk. Demi kelangsungan pertaniannya.
Wanita yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga ini justru secara sukarela memberikan bibit tanaman jahe ke sejumlah tetangga. Hingga tingkat RW. “Memang bisa dibilang, ketika kita terjun ke KWT itu sebenarnya kita kerja sosial. Bukan prioritas ke bisnis. Kami juga mengedukasi warga untuk menanam jahe di lahan sempit yang dimiliki warga,” kata Hanifah saat ditemui di KWT Kenanga.
Seiring berjalannya waktu, bibit yang jahe yang berikan secara cuma-cuma ke warga sudah bisa dipetik hasilnya. KWT Kenanga Bukan sekadar Kelompok Wanita Tani (KWT) yang sukses melakukan budidaya sayuran. Hanifah juga sukses mengolah hasil panen jahenya. Menjadi produk jual dengan omzet Rp10 jutaan setiap bulannya.
BACA JUGA: Ciptakan Rasa Gembira pada Anak Selama COVID-19
"Setengah lahan, kami peruntukan khusus budidaya jahe. Hasilnya kami produksi permen, serbuk jahe seduhan dan sirup jahe," katanya. Hanifa mengungkapkan, hingga saat ini produksi jahe tak pernah berhenti dengan masuknya pemesanan dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga akhirnya, ibu-ibu KWT terus konsisten membangun KWT kenanga untuk kesejahteraan pangan dan ekonomi secara bersama-sama.
Bisa dibilang, KWT Kenanga membangun home industri sendiri dengan hasil panen dari lahan sendiri. Semua warga bekerjasama mulai dari penanaman, produksi, hingga pemasaran. Selain itu, layaknya KWT pada umumnya, KWT Kenanga secara berkala juga terus melakukan budidaya beragam tanaman. Mulai dari kangkung, bayam, pakcoy, daun bawang, cabai, tomay, terong dan lainnya.
"Hasil panen dinikmati para anggota dan diperjualbelikan untuk masyarakat sekitar dengan harga yang sangat miring. Hasil penjualan dipergunakan untuk pembibitan selanjutnya," katanya.